Mudah lawannya sulit. Setiap orang suka yang mudah-mudah. Sering kita mendengar “Saya doakan kamu diberi kemudahan oleh Allah.” Jadi meskipun awalnya sulit, betapa senangnya kita ketika tiba-tiba muncul “aha”. Muncul ide sehingga yang sulit itu jadi mudah. Bahkan untuk menyemangati kita agar tak berkeluh kesah dan putus asa, Allah berfirman “Sesunggahnya bersama kesulitan ada kemudahan.”
Maka saat sekolah, kita harus bersusah-sisah belajar setiap hari sehingga saat ujian kita mendapati kemudahan dalam mengerjakannya. Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Demikian kata pepatah.
Tapi kini banyak orang yang tak mau bersakit-sakit, tapi maunya langsung mendapatkan yang mudah-mudah. Mau kaya tanpa kerja. Mau pintar tanpa belajar. Tak mau masalah yang rumit, maunya masalah yang remeh temeh saja.
Di pengadilan juga demikian.
Kalau bisa masalah yang ditangani yang mudah-mudah saja. Misalnya kasus pencurian ayam. Pencurinya tertangkap basah, Dan tak bertele-tele pembelaannya, Syukur langsung ngaku. Bahkan tak ada pengacaranya. Terakhir ada kasus pencurian listrik melalui charger HP. Gara-gara ngecharge HP di ruang umum, diseret ke pengadilan dituduh mencuri listrik. Atau seorang nenek 55 tahun yang mencuri 3 buah kakao, yang dituntut 6 bulan penjara. Tanpa pengacara dan tanpa pembelaan. Nenek yang lugu dan jujur mengaku bersalah di depan hakim dan minta maaf kepada pemiliknya. Yang akhirnya dijatuhi hukuman 1,5 bulan penjara dengan masa percobaan 3 bulan.
Masalah sepele, penyeselesaiannyapun sepele. Karena terdakwa dengan mudah mengakui kesalahannya bahkan mau meninta maaf dan berjanji tak akan mengulangi kesalahannya. Kejahatan yang dilakukan karena kebodohan dan kemiskinan memang mudah dilakukan dan mudah pula diselesaikan. Si pelaku setelah mendapatkan penjelasan dengan mudah memahami kesalahannya dan minta maaf. Bahkan bertaubat di depan majelis hakim yang terhormat. Meskipun dia dengan demikian tetap miskin.
Tidak demikian dengan masalah besar dan rumit. Penyelesaiannya pun belibet. Karena jaksa penuntut umum harus susah payah menggiring terdakwa agar mengakui kesalahannya. Dan terdakwa yang pintar dan kaya, berupaya keras menutupi kesalahannya. Selanjutnya mengaku tak bersalah. Didukung oleh orang-orang pintar ahli hokum yang di pengadilan akan menunjukkan kelihaiannya bersilat lidah. Karena paham betul celah-celah hokum yang bisa digunakan oleh pengacara dan terdakwa untuk bersembunyi dari kenyataan. Celah-celah itu adalah ruang gelap tempat bersembunyi dari kesalahan. Agar tak nampak oleh majelis hakim. Sehingga yang tampak di depan pengadilan adalah kebenaran terdakwa belaka: bahwa ia tak melakukan kejahatan yang sudah disembunyikan itu. Bahwa dia adalah benar. Bahwa dia pantas dibebaskan dari segala tuntutan. Bahkan dia boleh menuntut balik fitnah keji itu. Demi hokum yang tak mampu melihat ruang-ruang gelap itu.
Rumit. Belibet.
Memang dalam hal ini enakan ngomong sama orang bodoh dan lugu. Daripada orang pinter tapi cerdik dan culas.
Mengadili orang bodoh, kebenaran seperti terang benderang.
Mengadili orang pintar lengkap dengan pengacaranya yang handal dan bertarip mahal seperti melihat di ruang gelap.
Cikarang Baru, 24 November 2009/7 Dzulhijjah 1430H