Selasa, 24 November 2009

MUDAH

Mudah lawannya sulit. Setiap orang suka yang mudah-mudah. Sering kita mendengar “Saya doakan kamu diberi kemudahan oleh Allah.” Jadi meskipun awalnya sulit, betapa senangnya kita ketika tiba-tiba muncul “aha”. Muncul ide sehingga yang sulit itu jadi mudah. Bahkan untuk menyemangati kita agar tak berkeluh kesah dan putus asa, Allah berfirman “Sesunggahnya bersama kesulitan ada kemudahan.”

Maka saat sekolah, kita harus bersusah-sisah belajar setiap hari sehingga saat ujian kita mendapati kemudahan dalam mengerjakannya. Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Demikian kata pepatah.

Tapi kini banyak orang yang tak mau bersakit-sakit, tapi maunya langsung mendapatkan yang mudah-mudah. Mau kaya tanpa kerja. Mau pintar tanpa belajar. Tak mau masalah yang rumit, maunya masalah yang remeh temeh saja.

Di pengadilan juga demikian.

Kalau bisa masalah yang ditangani yang mudah-mudah saja. Misalnya kasus pencurian ayam. Pencurinya tertangkap basah, Dan tak bertele-tele pembelaannya, Syukur langsung ngaku. Bahkan tak ada pengacaranya. Terakhir ada kasus pencurian listrik melalui charger HP. Gara-gara ngecharge HP di ruang umum, diseret ke pengadilan dituduh mencuri listrik. Atau seorang nenek 55 tahun yang mencuri 3 buah kakao, yang dituntut 6 bulan penjara. Tanpa pengacara dan tanpa pembelaan. Nenek yang lugu dan jujur mengaku bersalah di depan hakim dan minta maaf kepada pemiliknya. Yang akhirnya dijatuhi hukuman 1,5 bulan penjara dengan masa percobaan 3 bulan.

Masalah sepele, penyeselesaiannyapun sepele. Karena terdakwa dengan mudah mengakui kesalahannya bahkan mau meninta maaf dan berjanji tak akan mengulangi kesalahannya. Kejahatan yang dilakukan karena kebodohan dan kemiskinan memang mudah dilakukan dan mudah pula diselesaikan. Si pelaku setelah mendapatkan penjelasan dengan mudah memahami kesalahannya dan minta maaf. Bahkan bertaubat di depan majelis hakim yang terhormat. Meskipun dia dengan demikian tetap miskin.

Tidak demikian dengan masalah besar dan rumit. Penyelesaiannya pun belibet. Karena jaksa penuntut umum harus susah payah menggiring terdakwa agar mengakui kesalahannya. Dan terdakwa yang pintar dan kaya, berupaya keras menutupi kesalahannya. Selanjutnya mengaku tak bersalah. Didukung oleh orang-orang pintar ahli hokum yang di pengadilan akan menunjukkan kelihaiannya bersilat lidah. Karena paham betul celah-celah hokum yang bisa digunakan oleh pengacara dan terdakwa untuk bersembunyi dari kenyataan. Celah-celah itu adalah ruang gelap tempat bersembunyi dari kesalahan. Agar tak nampak oleh majelis hakim. Sehingga yang tampak di depan pengadilan adalah kebenaran terdakwa belaka: bahwa ia tak melakukan kejahatan yang sudah disembunyikan itu. Bahwa dia adalah benar. Bahwa dia pantas dibebaskan dari segala tuntutan. Bahkan dia boleh menuntut balik fitnah keji itu. Demi hokum yang tak mampu melihat ruang-ruang gelap itu.

Rumit. Belibet.

Memang dalam hal ini enakan ngomong sama orang bodoh dan lugu. Daripada orang pinter tapi cerdik dan culas.

Mengadili orang bodoh, kebenaran seperti terang benderang.

Mengadili orang pintar lengkap dengan pengacaranya yang handal dan bertarip mahal seperti melihat di ruang gelap.

Cikarang Baru, 24 November 2009/7 Dzulhijjah 1430H

Kamis, 12 November 2009

KONTRAKAN

Memang gak enak jadi orang kontrakan. Rumah ngontrak. Setiap tahun pindah rumah. Karena rumah lama biasanya kalau diperpanjang kontraknya nilai kontraknya naik. Maka setiap tahun harus berburu rumah kontrakan yang lebih murah atau minimal sama dengan yang lama. Baru jalan 6 bulan, sudah kepikiran untuk ngumpulin uang lagi. Karena waktu jatuh tempo 6 bulan ke depan bakal terasa cepat sekali datangnya.

Sudah rumah ngontrak, status kepegawaiannya juga sebagai karyawan kontrak pula. Maunya sih disyukuri saja. Biarpun kontrak, ini lebih baik daripada nganggur. Pada awal-awal kerja pasti senang sekali. Kerja penuh semangat. Setelah waktu berjalan, masa kontrak tinggal 2-3 bulan lagi, kerja sudah nggak konsentrasi. Tiap hari hunting mencari majikan baru yang mau mempekerjakan dirinya. Syukur kalau langsung dapat begitu masa kontrak habis. Kalau tidak, akan jadi pengangguran lagi untuk sementara waktu.

Betapa tidak nyamannya menjadi orang kontrakan demikian. Maka wajar saja jika banyak orang pengen punya rumah sendiri. Maka wajar saja jika setiap karyawan pengen diangkat menjadi karyawan tetap dengan segala fasilitasnya.

Tapi bagaimanapun tak nyamannya, masih ada sisi positifnya. Cepat atau lambat cita-cita itu bakal terwujud. Paling tidak, selesai kontrakan rumah pertama pindah ke rumah kontrakan berikutnya. Selesai kontrak dari majikan pertama pindah ke majikan berikutnya. Dan suatu saat akan memiliki rumah sendiri dan menjadi karyawan tetap.

Maka jangan bersedih para kontraktor, karena ada yang lebih 'tak enak' daripada itu. Dan itu dialami oleh setiap orang. Ya, setiap kita adalah orang kontrakan. Meskipun sudah punya rumah sendiri. Meskipun sudah jadi karyawan tetap. Kita adalah orang kontrakan….. Kontrak hidup di dunia. Kita tinggal di dunia ini dibatasi waktu tertentu. Kalau orang kontrakan di atas, mereka tahu kapan masa kontraknya habis, maka tidak demikian dengan kontrak hidup kita. Tak ada yang tahu kapan masa kontrak kita habis.

Ya, tak ada yang tahu!

Meskipun demikian semua orang sadar, bahwa masa kontrak kita suatu saat pasti habis. Kalau orang kontrakan di atas, begitu masa kontrak rumahnya habis dia bisa pindah kontrak rumah lain. Dia sudah merencanakan dengan matang termasuk menabung uang sewa. Tapi tidak demikian dengan kontrak hidup kita. Sekali masa kontraknya habis, tak bisa diperpanjang. Merencanakan cicilan ‘tabungan’ pun tak bisa diatur dengan satuan waktu sedemikian sehingga saat habis kontrak terkumpul jumlah tertentu yang kita inginkan. Karena kita tak tahu kapan masa jatuh temponya.

Jadi bersyukurlah orang kontrakan, karena masih ada jenis kontrakan lain yang lebih tak menentu.

Maka pantaslah dalam ketidakmenentuan itu, Rasulullah bersabda bahwa orang yang cerdas adalah orang yang selalu mengingat kematiannya –yaitu habisnya masa kontrak hidupnya di dunia. Dengan selalu mengingat habisnya masa kontrak yang bisa datang tiba-tiba, maka si cerdas ini akan memanfaatkan waktunya seefisien dan seefektif mungkin untuk menuai berlimpah ruahnya rahmat, keberkahan dan keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala. Sehingga setelah masa kontraknya habis, dia akan diangkat menjadi ‘karyawan tetap’ di surga. Lengkap dengan rumah mewahnya.

Cikarang Baru, 12 November 2009

Renungan 44 tahun menjalani masa kontrakku di dunia. Entah berapa tahun lagi Allah memberi kesempatan aku tinggal di sini. Semoga Allah memberi kita semua kecerdasan.

Senin, 02 November 2009

Standing Party

Itu bahasa kerennya. Padahal intinya di pesta ini tak disediakan kursi. Lumayan penyelenggara tidak perlu menyewa ratusan kursi. Tapi sebaliknya disediakan banyak makanan. Biasanya ada sepuluhan booth makanan di dalam ruangan pesta itu.

Saya paling males kalau diundang dalam pesta yang gak pakai kursi ini.

Tadinya saya pikir, ini penyelenggara pelit amat ya gak nyewain kursi untuk tamu. Padahal kalau kita bertamu ke rumah teman biasanya yang pertama dipersilakan untuk kita adalah duduk.

“Silakan duduk, Bu/Pak/Mas/Mbak….” Ini adalah ungkapan yang pertama ketika kita menerima tamu. Setelah tamu duduk, kita berbasa-basi lalu suguhanpun datang.

Lha ini…. Tamu gak dipersilakan duduk. Kalau datang terlambatpun, banyak yang langsung njujug ke booth-booth makanan. Setelah perut kenyang sehabis makan berdiri sambil jalan-jalan serta ngobrol sana-sini, baru deh pamit ke yang punya hajat.

Yang menerima tamu gak sopan, tamunya juga gak sopan.

Demikianlah pikirku.

Lalu aku melihat sekeliling. Terlihat mewahnya ruangan dan dekorasi, serta booth makanan di seluruh sudut dan sisi ruangan. Ini pasti biayanya tidak sedikit. Jadi pasti si penyelenggara pesta bukan sedang pelit atau mengirit biaya sehingga tidak menyewa kursi untuk tamunya. Kemudian saya tahu, ini namanya pesta berdiri. It’s standing party.

Jadi pantes saja gak pake kursi.

Saya awalnya ikut-ikutan juga makan sambil berdiri. Sambil ngobrol pula dengan kenalan. Tapi baru lima menit rasanya makanan enak dipiring jadi gak enak. Saya pamit mencari kursi dimanapun berada.

Alhamdulillah, ternyata ada juga beberapa puluh kursi disediakan. Kebanyakan yang duduk adalah kakek nenek serta ibu-ibu yang menyuapi anaknya. Dan beberapa orang kampungan seperti saya. Maka sayapun duduk bersama orang-orang kampungan itu.

Alhamdulillah, makanan dipiring jadi enak lagi. Begitu habis saya bangkit mencari somay atau bakso atau kambing guling atau es puter atau soto ayam atau pempek atau tek wan atau lontong sate atau coto makassar. Wah, pokoknya kalau perut kuat, bisa jadi semua dicoba. Dan saya memang melihat banyak orang yang aktif terbang kesana kemari mencicipi semua makanan itu. Makanya tidak heran jika di beberapa tempat banyak makanan tersisa di piring yang sudah ditinggalkan pemiliknya. Ya, maklum memang banyak tamu yang cuma nyicipin, jadi porsinya kebanyakan.

Sambil menikmati makanan saya teringat pada nasihatku pada anak-anakku. Bahwa Rasulullah mengajarkan makan minum sambil duduk. Bukan berdiri. Ketika melihat anak-anak makan sambil berdiri, kami biasanya mengingatkan “Laa yasrobanna ahadukum qo-ima.” Demikian kurang lebih peringatan Rasulullah SAW. Karena sudah sering kami ucapkan, anak-anak langsung paham dan duduk meneruskan makannya.

Dulu waktu saya sekolah SD juga diajarkan demikian. Dan saya yakin tak kurang dari 80 persen dari tamu yang sedang makan sambil berdiri itu dulu juga diajarkan hal yang sama baik di rumah maupun di sekolah. Dan bahkan saat ini di rumah mereka juga sedang mengajarkan hal yang sama kepada anak-anaknya.

Apakah ajaran ini hanya untuk anak-anak? Lalu saat dewasa boleh ditinggalkan demi pergaulan? Saya bertanya dalam hati sambil menikmati makananku.

Entahlah….. Tapi iya, juga sih, ….. buktinya saya jadi gak gaul sama teman-teman saya gara-gara saya makan sambil duduk seperti ini.

…. Makananpun habis, saya bersyukur atas rizki makan minum yang diberikan Allah kepada saya, melalui teman yang mengundang saya di acara ini.

Alhamdulillahilladzi ath’amana wa saqaana wa ja’alana minal muslimin….

Cikarang Baru, 15 Dzulqa’dah 1430H/2 November 2009