Senin, 28 Desember 2009

Bang Jo di Bekasi

Bagi yang belum pernah tinggal di Jawa Tengah pasti belum tahu arti kata Bang Jo.

Saya memang orang Jawa Timur, tapi sempat mampir hidup di Jawa Tengah, sebelum (akhirnya?) sekarang merapat di Bekasi, Jawa Barat.

Bang Jo bukan nama orang Betawi seperti Bang Ali, Bang Jiun, Bang Jampang ataupun Bang Yos (mantan Gubernur DKI, yang sebenarnya orang Jawa itu). Dalam istilah warga Jawa Tengah (dan DIY) Bang Jo adalah lampu lalu lintas. Bang Jo dari kata abang ijo (merah dan hijau), salah dua dari tiga lampu pada lampu lalu lintas. Kuning gak disebut mungkin karena jarang menyala. Ini sangat membahayakan, karena pengendara bisa berhenti mendadak jika lampu tiba-tiba merah. Atau melaju mendadak karena tiba-tiba lampu menyala hijau dan pengendara mobil dibelakang dengan kesalnya memukul klakson mobilnya agar kita yang paling depan segera tancap gas. Memang kalau gak buru-buru khawatir lampu segera berubah jadi merah.

Nah…. ketidak menentuan ini tidak saya rasakan ketika menjelajahi kota Bekasi. Di sebelah lampu Bang Jo itu ternyata dipasang lampu timer yang memberitahukan kepada pemakai jalan raya, berapa detik lagi lampu merah atau hijau menyala. Jika lampu merah menyala, di sebelahnya ada lampu timer merah yang berhitung mundur (count down). Ini memberitahu kita merapa detik lagi kita harus sabar menunggu. Jadi gak perlulah kesal karena menunggu dalam waktu yang tak diketahui.

Yang paling nyaman tentu kalau lampu hijau yang giliran menyala. Di sebelahnya ada lampu timer hijau. Jadi kita yang masih jauh gak perlulah menancap gas dalam-dalam, kalau tahu bahwa lampunya masih bakal menyala 120 detik misalnya. Angkanya jelas tampak dari kejauhan. Sepanjang mata kita masih agak bagus. Jadi santai saja. Yang penting diperkirakan saja saat di perempatan lampu merah belum menyala.

Sebaliknya jika lampu hijau tapi timernya tinggal hitungan dibawah sepuluh detik, juga gak perlulah kelabakan ngebut. Toh gak bakalan keburu. Nanti malah terjadi kecelakaan. Jadi santai saja. Enak, toh…..

Fasilitas ini memang membuat pengendara nyaman ketika mendekati perempatan atan pertigaan.

Karena saya beredarnya di Cikarang-Bekasi jadi saya pertama kali tahu fasilitas seperti ini ya ketika menjelajah kota Bekasi. Belakangan saya tahu ini juga ada di kota Jakarta. Dasar udik!

Siapapun dan dimanapun yang duluan, fasilitas ini sangat bermanfaat dan perlu diterapkan di wilayah lain. Demi keselamatan pengendara kendaraan bermotor.

Salam Bang Jo,

Choirul Asyhar

http://ayomenulisbuku.wordpress.com


Selasa, 22 Desember 2009

Bisnis Anakku

Entah aku harus bilang apa.

Kemarin karena sakit, sejak subuh aku tidur lagi sampai dhuhur. Dua orang anakku berangkat ke sekolah naik ojek. Biasanya aku yang mengantarkan mereka. Kemarin tidak, bahkan aku juga gak kasih uang jajan.

Pulang sekolah anakku yang kecil, 5 tahun, membawa 2 stiker Yu-gi-oh baru untuk ditempel di bukunya. Aku paling kesel kalau dia beli stiker atau kartu-kartunya pakai uang jajannya. Bagiku jajan itu ya makanan. Tapi bagi anakku mainan itu jajan juga.

Tiung….! Sebelum marah, aku teringat dari mana dia dapat uang untuk beli stiker?

“Adnan jualan makanan, Yah!” jelas Athaya, kakaknya.

“Makanan apa?” tanyaku.

“Yang kemarin, Yah.” Jelas Athaya lagi.

O, ya aku teringat kemarin mereka menengok sepupunya di Jakarta. Setiap bepergian, di mobil selalu siap snack dan minuman. Kalau tidak, mereka akan suntuk dan berantem sepanjang jalan. Ada kacang, wafer, biscuit atau pilus dan lain-lain.

Nah, kemarin ada sisa beberapa bungkus. Dan itulah yang dijual anak bungsuku.

“Adnan bawa tiga. Yang satu dimakan, yang dua dijual gopekan…” kini Adnan menjelaskan. Jadi dia dapat uang seribu rupiah. Dan uang itu yang dipakai untuk beli dua buah stiker.

Aku gak jadi marah. Aku tersenyum. Bangga dengan potensi berbisnisnya.

Ini bukan yang pertama dilakukan oleh Adnan.

Dia juga pernah menjual koleksi kartu-kartunya. Awalnya karena aku dan ibunya marah karena hampir setiap hari dia jajan kartu sepulang sekolah.

“Yah, kartuku sudah gak ada lagi… tinggal ini.” Katanya suatu hari sambil menunjukkan beberapa lembar kartu saja di tangannya.

“Emang pada dikemanain?” tanyaku.

“Adnan jual!” katanya bangga.

“Berapa harganya?” tanyaku.

“Seribu dapat sepuluh.” Jawabnya.

“Lho, belinya dulu berapa?” tanyaku.

“Seribu dapat lima.” Jawabnya.

“Rugi dong!” kataku.

“Biar cepet abis… kan Ayah gak suka kalau banyak kartu di rumah.”

Aku terdiam, ada senyuman sedikit dibibirku. Menjual memerlukan keberanian tersendiri. Ini sudah lebih berharga daripada harga kartu yang dijual rugi. Lagian ini belum tentu rugi, karena semuanya kartu bekas.

Kemarin sore saya bertanya kepadanya bagaimana dia menawarkan dagangannya.

Dia mempraktekkan, “Teman, aku punya makanan. Mau nggak kamu beli makananku?”

“Waktu jual kartu gimana caranya?” tanyaku.

“Gampang, Yah…. Bilang aja, teman-teman aku punya kartu, mau beli nggak?”

Entahlah aku mau bilang apa… senang tapi juga khawatir.

Ada kekhawatiran, jangan-jangan ada yang berkomentar negatif. Misalnya anak kecil kok sudah cari duit. Siapa tuh yang ngajarin, kalau bukan ayahnya. Anak kecil kok gak dikasih uang jajan, sampai jual-jual mainan dan makanannya sendiri.

Tapi…. biarin aja, deh…

Kekhawatiran itu aku pupus. Toh, belum terjadi, ngapain dipikirin.

Maka… pagi ini anak-anakku membekali dirinya dengan beberapa teh gelas produksi kami. Adnan membawa 3 gelas. Satu gelas untuk dirinya, dua gelas untuk dijual. Athaya membawa 4 gelas. Satu untuk dirinya sendiri, satu diberikan gratis untuk teman akrabnya dan dua untuk dijual. Hasil penjualannya akan jadi uang jajan. Mereka belajar tentang tujuan yang jelas…. Agar bisa jajan, ya jualan. Ada reason!

Kini, dengan menulis petualangan bisnis anak-anakku ini, ….. aku tak peduli lagi Anda mau bilang apa kepada bapak ndableg seperti aku ini. Mudah-mudahan sih komentarnya positif (minimal aku akan menjadikannya positif, apapun komentar Anda).

Cikarang Baru, 5 Muharram 1431 H/22 Desember 2009