Rabu, 30 November 2011

Youtube Vs Polisi

Anda mengalami masalah kriminalitas. Atau menyaksikan tindakan kriminalitas? Laporkan ke Youtube!
Prosedurnya mudah, tidak perlu keluar rumah, tak perlu isi formulir, tak perlu dicurigai, tak perlu diinterogasi, tak perlu dibuatkan berita acara, tak perlu tanda tangan. Asal ada koneksi internet, cukup bikin akun Youtube. Maka setiap saat kita bisa memanfaatkannya. Tentu saja Anda harus punya materi untuk di upload ke Youtube. Ada rekaman digital.

Polisi terus kerjanya apa, dong?

Ya, polisi tinggal kebakaran jenggot aja –kalau emang punya jenggot, kebanyakan sih polisi klimis-klimis, jadi gak bakalan kebakaran jenggot. Adanya paling kumis, yang bisa menegakkan bulu roma rakyat. Alias menakutkan. Oke,... kebakaran apa kek, yang penting setelah rame di publikasikan, maka polisi jadi kerja, menindaklanjuti keresahan rakyat. Tapi kalau tidak ada aduan, apakah polisi akan bekerja? Seharusnya sih tidak. Tapi apakah aduan secara massal melalui Youtube, lalu diberitakan oleh koran, TV, media online, tidak lebih dari cukup sebagai aduan yang harus ditindaklanjuti.

Mestinya memang demikian. Tapi kenyataan memang sering berbeda dengan harapan. Setidaknya di negara ini.

Di lingkungan rumah ada spanduk yang dikeluarkan instansi kepolisian. Bunyinya, “Awas Pencuri Ranmor Ada di Sekitar Anda. Waspadalah!” Membaca spanduk ini, saya tersenyum kecut. Lha, kalau polisi sudah tau ada pencuri, ya tangkap dong. Masak Cuma nyuruh kita waspada doang. Kalau kecolongan, meskipun sudah waspada gimana, dong?
(“Ya, lapor dong, biar dapat surat untuk dipakai lapor ke leasing! Biar bisa dapat ganti motor baru.”)

Lapor ke polisi memang –kebanyakan- hasilnya tak lebih dari selembar berita acara doangan. Jadi teringat saat saya kecopetan di bis antar kota antar propinsi dalam perjalanan Yogya – Jakarta. Saya sadar telah kecopetan ketika habis istirahat makan di Subang. Melihat saya bokek, teman duduk saya, mahasiswa Jepang yang sedang kuliah di UGM, kasih uang saya untuk pegangan.

Selain uang, di dompet juga ada kartu ATM, SIM, kartu Jamsostek dll.  Sampai di Cikarang, saya harus blokir semua kartu ATM. Dan melapor ke Polsek. Tujuannya agar saya bisa menjadapatkan berita acara, dan saya bisa mendapatkan ATM baru dari bank.

Ke kantor polisi saya ajak anak saya yang waktu itu masih SD. Dalam perjalanan pulang dia bertanya, “Ayah, emangnya kalau lapor polisi, dompet ayah bisa kembali?” Saya lupa jawaban saya persisnya kayak apa. Tapi saya ingat waktu itu saya jawab dengan jawaban positif demi mengajarkan anak saya agar tidak membenci polisi di usia terlalu dini.

Meskipun dompet itu tak bakalan kembali. Meskipun jawaban itu berarti saya bohong kepada anak saya.

Beberapa bulan yang lalu rumah adik saya disatroni maling. Kerugian material lebih dari 40 juta. Lagi-lagi melapor polisi ternyata cuma untuk dapat selembar berita acara doang. Sampai kini tak ada kabar berita lagi. Menyisir sidik jari dan menangkap penjahat  cuma ada di film. Setelah itu adik saya trauma dan mengganti semua kunci rumah, dan memberi teralis pada setiap lubang menganga menuju masuk rumahnya.

Mundur jauh ke belakang, saya pernah mengalami penipuan. Ketika sadar, saya langsung melapor ke polsek terdekat. Walhasil setiap pekan pada beberapa pekan kemudian saya harus mampir ke polsek tersebut untuk mengetahui perkembangannya. Dan setiap pekan itu pula saya harus mengeluarkan uang operasional bagi ‘penyidik’. Sampai akhirnya saya capek. Dan tak ada lagi kabar beritanya. Masalahpun saya lupakan dan ikhlaskan. Meskipun sampai sekarang tak pernah lupa dan tak pernah ikhlas.

Kini zaman lebih modern, ada rumah pake CCTV, ada hape untuk merekam kejadian. Lalu ada Youtube untuk menyebar informasi. Sementara polisi belum berubah cara kerjanya. Padahal teknologi informasi semakin pesat kemajuannya. Maka polisi jadi semakin tampak tertinggal profesionalismenya. Maka tak aneh, jika pemilik rumah yang disatroni pencuri necis, yang memiliki rekaman CCTV tak mau lagi melapor ke polisi. Karena "melapor" ke Youtube lebih efektif.

Kita juga akan melakukan hal yang sama. Kecuali kalau kita hanya butuh selembar “Berita Acara”.    

Senin, 28 November 2011

Dilema Kemarau


Musim kemarau agaknya masih panjang. Hujan yang turun sejak awal bulan ini, ternyata hanya sesekali. Yang banyak adalah panas kemarau yang terik di berbagai belahan daerah di Indonesia. Kalau sudah panas menyengat, banyak berita sawah kekeringan, dan ternak kekurangan air minum. Gambar tanah retak banyak menghiasi koran, majalh dan TV.

Lalu teringat Rasulullah mengajarkan kita melaksanakan istisqo'. Sholat minta hujan. Umat Islam berbondong-bondong ke lapangan melaksanakan shalat sunnah dan berdoa agar Allah segera menurunkan hujan.

Kalau sedang musim kemarau begini memang panas terik serasa siksaan. Maka guyuran hujan menjadi rahmat yang dinanti-nantikan. Maka shalat istisqo menjadi andalan. Dan di beberapa daerah, terlihat mulai turun hujan.

Hujan adalah rahmat. Hujan adalah kebaikan. Ini yang banyak kita baca di Al Quran. Hujan akan menghidupkan bumi yang mati. Tanah yang tandus. Hasil pertanian yang kerontang.

Tapi di negeri ini, Indonesia, sebagian kita ragu mengakui hujan adalah rahmat. Karena saat musim hujan justru banyak penduduk yang rumahnya terendam air. Lalu mereka mengungsi ke tempat tinggi. Di tenda, di sekolah, di masjid. Dengan fasilitas yang tak juga membaik dari tahun ke tahun. Meskipun banjir sudah jadi langganan. Maka setelah banjir ada saja korbannya. Kerusakan bangunan, penyakit, bahkan jiwa.

Maka di saat kemarau seperti ini. Doa kita sering tak tulus dimohonkan kepada Allah. Meskipun di satu sisi kita rindu dengan guyuran hujan. Di sisi lain, kita takut kebanjiran. Maka doapun tak dilantunkan dengan lepas. Maka Allahpun memperpanjang kemarau di negeri ini.

Inikah dilema doa di Indonesia?
Inikah namanya keberkahan yang mulai dicabut?
Kenapa?

"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa, pasti Kami (Allah) akan membukakan keberkahan dari langit dan bumi." (Al A'raf : 96)

Jumpa Lagi...!

Wah, lama juga ya saya gak menulis di blog ini. Padahal menulis itu mengasyikkan.
Ada beberapa sebab saya lama absen menulis.
1. Laptop rusak. Tadinya cuma rusak LCD monitornya. Tapi yang ini masih bisa diakali dengan menggunakan PC monitor. Maklum kalau diservis biayanya mahal. Alias gak ada anggaran untuk perbaikannya.

Setelah itu rusak sistemnya jadi harus diinstal ulang. Sudah dibawa untuk intall ulang dan nginep lebih dari seminggu... eh ketika saya jemput, dia bilang, "gak bisa, Pak karena monitornya gak bisa nyala." Waduh, mati aku, rupanya selama ini dia gak paham. Waktu kuserahkan laptopku, saya sudah bilang kalau monitornya mati dan bisa pake PC monitor dengan kabel. Wal hasil, kutarik aja laptopku itu. Kesel.

2. Banyak kejadian menarik untuk ditulis. Lho mestinya tulisanku makin banyak, dong ... Iya sih, tapi ada kejadian yang lebih menarik. Yaitu masalah keluarga yang tak mungkin kutulis dan di-share di blog. Walhasil aku jadinya gak punya waktu untuk menulis. Jadi kalau kalau Anda melihat dan membaca tulisan ini, bukan berarti masalah saya sudah beres. Tapi karena ada 3 alasan. Yaitu, pertama, saya lagi bete menghadapi masalah di "dalam negeri". Kedua, karena saya sudah dapat pinjaman laptop. Ketiga karena saya pengen ngetes, apakah saya masih ingat atau tidak password saya untuk masuk ke blog ini.

3. Malas. Ini alasan yang paling tidak menarik sebenarnya. Malas adalah adalah akar dari semua terbengkalainya pekerjaan. Tapi ini saya perlu tulis. Karena malas ini berhubungan dengan zaman kini. Sejak ada laptop atau komputer saya memang jadi malas menulis di atas kertas. Kalau dipaksakan, tulisan saya akan berangsur-berangsur berubah. Dari rapih dan jelas, karena ditulis dengan huruf cetak. Lama-lama (atau tidak terlalu lama) Anda akan melihat tulisan saya berubah jadi gambar "cakar ayam". Yang hanya pantas jika itu dilakukan oleh dokter. Itupun khusus untuk menulis resep obat. Bukan kwitansi.

4. Tak ada waktu. Ini juga alasan yang mengada-ada sebenarnya. Kalau dipikir-pikir semua orang punya jatah waktu yang sama, yaitu 24 jam per hari. Mana ada, seorang yang super sibuk bisa melakukan banyak kegiatan dalam sehari. Sementara saya yang "superbusa" (capek ngomong doang), merasa gak punya cukup waktu untuk menulis barang selembar dua lembar. Bahkan menulis yang ecek-ecek seperti tulisan yang sedang Anda baca ini. Mana mungkin....??? Jadi intinya pasti karena malas. ... (Wah, ini jadi masuk ke alasan ketiga dong...). Entahlah, yang jelas, selama ini saya merasa 24 jam per hari itu kurang... Atau jangan-jangan saya harus mengurangi kegiatan-kegiatan yang kurang produktif 'kali ya.... seperti.... (lihat alasan ke 5)

5. Terlalu banyak nonton obrolan politik. Ya... ini benar-benar sering menyita waktuku. Seperti jam-jam segini (jam 10-11 siang, saat nulis tulisan ecek-ecek ini) biasanya saya sedang nonton obrolan di 2 stasiun TV sekaligus. Sering obrolan ini bikin kesel, apalagi kalau narasumbernya tidak menunjukkan intelektualasnya, tapi hanya menonjolkan syahwat politiknya. Tapi meskipun ngeselin, kok ya bisa-bisanya saya terpancang kaku di depan TV jam-jam segini.  Kalau bosen nonton TV, lalu aku melakukan .... (alasan ke-6).

6. Fesbukan. Jama'ah ini memang paling banyak pengikutnya. Lebih berbahaya sebenarnya daripada jama'ah-jama'ah yang sering dituduh sebagai teroris. Bayangkan gara-gara fesbukan, para anggotanya -jama'ah fesbukiyah-  banyak menyia-nyiakan waktu produktifnya. Yang kasihan para majikannya. Karyawan tidak produktif gara-gara sibuk update status dan komen status teman. Orang tua juga jadi nomor sekian di rumahnya. Anak-anak lebih suka curhat ke wall daripada kepada orang tuanya. Udah gitu, anak-anak lebih suka baca komen teman-temannya daripada komen orang tuanya yang penuh nasihat. Alasannya komen ortu gak gaul banget.

Contoh:
Status anak: sebel, pacar selingkuh!
Komen teman1: cari aja pacar lain....
Komen teman2: emang cuma dia doang yang bisa selingkuh!
Komen teman3: pecat aja, cari gantinya.
Komen ortu: Makanya jangan pacaran, pacaran dilarang agama.

Komen teman1, 2, 3 di like.
Komen ortu di remove!

(Lho, kok jadi ngomongin fesbuk orang, ya....)

7. Alasan ke 7, apa ya..... Udah ah... gak usah dicari-cari. Toh, saya sudah nulis lagi. Yang namanya alasan pasti jumlahnya lebih banyak daripada jumlah yang sebenarnya. Jadi kalau di atas saya sudah nulis 6 alasan, sebenarnya sih gak sebanyak itu. ....Lho, lalu kenapa alasan-alasan itu saya tulis? Biar saya ada bahan aja untuk menulis lagi di blog ini.


Jumpa lagi, nice to see you again!