Tampilkan postingan dengan label masjid. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label masjid. Tampilkan semua postingan

Rabu, 06 Juni 2012

KULWIT KANG ABIK @h_elshirazy tentang TOLERANSI DI INDONESIA

Habiburrahman E l Shirazy
1. Pertumbuhan rumah ibadah di Indonesia 1997-2004: Gereja Katolik ,dari 4.934 menjadi 12.473 (153%) -Republika 4/6/12 #toleransi

2. Pertumbuhan rumah ibadah di Indonesia 1997-2004: Gereja Protestan ,dari 18.977 menjadi 43.909 (131%) -Republika 4/6/12 #toleransi

3. Pertumbuhan rumah ibadah di Indonesia 1997-2004: Wihara ,dari 1.523 menjadi 7.129 (368%) -Republika 4/6/12 #toleransi
 

4. Pertumbuhan rumah ibadah di Indonesia 1997-2004: Pura Hindu ,dari 4.247 menjadi 24.431 (475,25%) -Republika 4/6/12 #toleransi
 

5. Pertumbuhan rumah ibadah di Indonesia 1997-2004: Masjid ,dari 392.044 menjadi 643.843 (64%) -Republika 4/6/12 #toleransi
 

6. Dilihat prosentase, jelas paling rendah adalah prosentase pertumbuhan rumah ibadah umat Islam. Non-Islam tumbuh diatas 100% . #toleransi
 

7. Masih kurang #toleransi apa ummat Islam di Indonesia? Apkh Eropa, Amerika mengizinkan masjid tumbuh diatas 100%? Di New York aja diprotes
 

8. Di Swiss, masjid pasang menara sj di larang! Di Indonesia kalau hari besar agama non-Islam, Mall2 penuh lambang non-Islam, gpp.#toleransi
 

9. Lihat kabinet pemerintahan di Indonesia, silakan di hitung berapa menteri yg bukan muslim. Lihat Perancis/Jerman, adakah menteri muslim?
 

10. Mohon kpd seluruh elemen bangsa mnggunakan akal sehat. Jangan karena kpentingan segelintir org/gol. yg sempit, citra bangsa dikorbankan.
 

11. Demi Allah, sudah 3 tahun ini tukang pijit ksayangan sy itu non-muslim. Dia sy pilih krn lbh profesional dibanding yg muslim.#toleransi
 

12. Ketika tukang pijit sy berduka dpt musibah, istri sy datang menghibur istrinya. Kami bisa hidup damai saling menghormati.#toleransi
 

13. Imam Hasan Al Bashri dulu bertetangga dg non-muslim dan hidup sangat harmonis. Demikian jg terjadi di byk tempat di Indonesia.#toleransi
 

14. Ummat Islam di Indonesia tidak usah diajari tentang #toleransi, Barat yg harus belajar pada Indonesia.

-Dipungut oleh Choirul Asyhar dari akun twitter kang Abik.

Selasa, 19 Januari 2010

HANDPHONE



Siapa yang gak punya hape pada zaman gini? “Hare gene gak punya hape?” demikian bunyi iklan sebuah operator telepon. Ya, hampir semua manusia dewasa yang saya jumpai punya hape. Teman-teman sebaya punya hape semua. Kini bahkan sebagian sudah ganti merek BlackBerry alias BB. Murid-murid SMP pada punya hape. Sambil mengasuh anak kecil pembantu rumah tangga juga ada hape melekat di tangannya.

Hape sudah jadi fenomena. Seakan setiap yang punya tangan punya hape.
Tak terbayangkan 20 tahun yang lalu, kita bisa dipanggil dan memanggil teman, istri dan anak kita setiap saat karena selalu melekat di tangan kita benda yang satu ini.

Tak terbayangkan oleh kita 20 tahun yang lalu, bahwa sebuah jari jempol bisa dipakai mengetik pesan singkat. Jari ini dengan lincahnya berpindah-pindah dari satu huruf ke huruf yang lain. O… inilah salah satu gunanya Allah memberikan sendi pelana pada jempol kita.

Gara-gara hape maka tugas imam shalat di masjid bertambah satu. Selain mengingatkan agar jamaah merapatkan dan meluruskan shafnya, imam juga mengingatkan jamaah agar mematikan hapenya sebelum shalat dimulai. Sering terjadi saat jamaah sedang khusyu’ shalat. Ketika syahdu mendengarkan lantunan merdu bacaan ayat Quran dari imam masjid, tiba-tiba lagu dangdut dari hape seorang jamaah menyeruak memenuhi ruangan masjid. Tak jarang pula tiba-tiba ada ayam berkokok sebagai tanda ada panggilan telpon. Atau tiba-tiba ada adzan dari sebuah hape.

Semua itu jelas mengganggu kekhusyukan shalat.

Dulu ada larangan memainkan musik di dalam masjid, kini jangankan marawis atau nasyid islami, lagu bertema jorokpun sering nyelonong masuk ke masjid melalui hape jamaahnya.

Saat memasuki sebuah masjid di Bekasi saya membaca kaligrafi doa masuk masjid terlukis indah di pintu gerbangnya. Di dalam masjid banyak goresan kaligrafi ayat-ayat al quran. Kini saat memasuki sebuah masjid ada tulisan tambahan yang tercetak diatas vinil dengan teknologi digital printing: “Harap mematikan HP”. Ketika sampai di dalamnya, di dinding masjid ada beberapa stiker yang bergambar hape dicoret, yang artinya sama: “Harap mematikan HP”.

Untung saja tidak didomplengi oleh iklan HP. Mungkin produsen hape belum berani masuk ke ranah ini. Bayangkan misalnya ada gambar HP dicoret lalu dibawahnya tertulis “Pesan ini disampaikan oleh NO***”.  Bisa untuk menambah kas masjid, deh…..

Suatu pagi saya berjalan-jalan di sekitar rumah. Saya melihat ada 2 orang pembantu rumah tetangga. Mereka sedang mengasuh atau menyuapi anak majikannya yang duduk di atas kereta bayi. Terdengar lantunan lagu-lagu percintaan mengalun dari radio hape mereka yang digeletakkan di kereta bayi itu. Sementara mereka asyik ngobrol.

O…. seandainya saja yang keluar dari radio hape itu alunan murottal ayat-ayat al Quran, betapa besar manfaatnya bagi perkembangan otak bayi-bayi itu.

Cikarang Baru, 3 Shafar 1430/19 Januari 2010
Choirul Asyhar
Owner Muslimart

Senin, 12 Oktober 2009

Yang Lapang, Yang Sempit

Hari Ahad, waktu shalat Isya’.

Saya kaget sekaligus bersyukur, masjid di kampungku hampir separuh kapasitasnya terisi jamaah shalat Isya’. Ada 5 shaf. Dari 11 shaf yang tersedia.

Setelah shalat, saya tunda berwirid. Saya sempatkan menghitung jumlah jamaah per shafnya. Sebelum sebagian mereka keburu pulang. Rata-rata 28 orang pershafnya. Mereka dewasa, remaja dan anak-anak. Jadi dikalikan 5 sama dengan 140 jiwa. Kalau total kapasitasnya 308 orang, berarti tingkat ‘hunian’ malam ini adalah 45%.

Kenapa ini terjadi?

Saya mulai menduga-duga. (karena memang belum pernah diadakan penelitian)

  1. Jamaah banyak karena ini hari libur. Jadi banyak warga yang punya waktu untuk shalat berjamaah di masjid.
  2. Jamaah banyak karena meskipun libur mereka tidak jalan-jalan ke mall. Mendingan istirahat di masjid sebagai persiapan besok Senin kerja lagi.
  3. Jamaah banyak karena acara TV hari Ahad memang tidak seru. Sinetron banyak yang libur tayang (yang ini adalah data lama, karena saya sudah luamaa banget putus hubungan dengan sinetron. Apakah sekarang sinetron masih libur Sabtu- Ahad, saya gak tahu).

Sudahlah, gak usah menduga-duga. Yang jelas, saya menyaksikan wajah-wajah ikhlas di barisan-barisan shaf shalat malam ini. Semoga Allah menerima amal ibadah kita.

Saya menepis dugaan-dugaan itu, dan saya ganti dengan rasa syukur yang dalam. Anehnya, beberapa saat kemudian, kembali saya terbenam dalam hitung-hitungan di kepala saya.

Kalau dari seluruh jamaah itu ternyata setiap ayah mengajak satu orang anak laki-lakinya, berarti jamaah shalat itu berasal dari 70 rumah.

Tuinggggg!

Rasa kecewa muncul lagi….

Di lingkunganku ada sekitar 500 rumah yang berpenghuni. Plus minus 90%-nya muslim. Jadi yang shalat ke masjid sama dengan 70 per 450-nya atau kurang lebih 15% saja.

Wow, jadi, baru 15% yang shalat di masjid kami yang megah dan termasuk berukuran besar ini.

Saya menaksir biaya pembangunan masjid ini sudah mencapai 1 M. Tapi sayang pemanfaatannya oleh warga belum maksimal. Padahal warga yang memanfaatkannya tidak dipungut biaya sama sekali. Dengan fasilitas air wudhu, toilet, listrik, sound system yang bagus, suara muadzin dan jasa imam yang bacaannya indah dan tartil. Semua gratis.

Belum lagi kesempatan silaturahim dengan sesama warga. Dan yang terpenting, warga yang shalat di sini bisa mengunduh kebaikan melebihi 27 kali lipat dibandingkan shalat sendiri di rumah.

Belum lagi dengan dibangunnya masjid ini, warga yang datang ke masjid, setiap langkahnya bernilai kebaikan dan menggugurkan dosa-dosanya.

Ini fasilitas yang fantastics.

Tapi saat ini hanya 15% yang memanfaatkannya. Itupun kalau hari libur saja.

Tiunggggg!

Alhamdulillah…. Saya menepis kekecewaan itu dan menggantinya dengan rasa syukur.

Kalau empat puluh persen saja warga hadir di masjid ini setiap shalat, betapa sempitnya masjid kami.

Jadi biarlah kini sementara mesjid kami serasa lapang dalam kesempitannya.

Nanti toh, entah kapan, seiring dengan kesadaran dan kemajuan pola fikir, masjid kami akan menjadi terasa sempit seperti saat-saat Ramadhan kemarin.

Sempit tapi menyenangkan,….

Karena kami sekampung semua berjamaah, tunduk sujud kepada-Nya.

Cikarang Baru, 22 Syawal 1430H/12 Oktober 2009

Selasa, 29 September 2009

Mati Duluan

Setelah azan maghrib, saya dan dua anak laki-laki saya Abyan (13) dan Adnan (5) pergi ke masjid dekat rumah. Dalam perjalanan seperti biasanya Adnan ngajak ngobrol.

“Ayah, berapa umur Ayah?”

“Empat puluh tiga!” jawabku cepat… yang ternyata salah.

“Empat puluh empat, Yah…” Abyan cepat mengkoreksi.

“O ya, sebentar lagi pas empat puluh empat.” Kataku.

“Kalau Ibu?” Tanya Adnan selanjutnya.

“Empat puluh satu!” jawabku sambil mempercepat langkahku, karena sebentar lagi pasti iqamah akan dikumandangkan. Abyan dan Adnan ikutan mempercepat langkahnya.

“Berarti Ayah duluan mati!” seru Adnan santai…. Tapi tetap mengagetkanku.

“Hhh… Apa?” Tanya Abyan kepada Adnan.

“Berarti Ayah duluan mati.” Ulangnya ringan.

Aku tetap mempercepat langkahku, sambil tersenyum, agak kecut. Siapa orangnya yang gak takut mati.

“Kalau Mas Abyan dan Mbak Ahsana siapa yang duluan mati?” tanyaku.

“Ya, mBak Ahsana.. kan dia lebih tua.”

“Kalau Adnan dan Mbah Athaya?”

“Ya, duluan Mbak Athaya.”

Aku tersenyum kecut dengan logika Adnan. Yang lebih tua bakal mati duluan.

“Kalau semua mati duluan, nanti Adnan kalau mati siapa yang nguburin?” godaku.

“Ya, orang-orang yang lainlah…” jawabnya nyantai.

Aku tersenyum lagi, ….sebenarnya sih menahan haru. Ketidakmengertiannya membuat dia gak sedih kalau ditinggal mati ayah ibu dan saudara-saudaranya.

“Adnan, pernah denger anak muda mati duluan?” tanyaku.

“Pernah, ada juga bayi yang mati.” Jawabnya santai, tanpa beban bahwa ini antitesis dari kesimpulannya terdahulu.

“Itu berarti umur manusia itu hanya Allah yang tahu.” Aku menjelaskan.

Ada yang mati saat umurnya sudah tua, ada pula yang masih muda tapi duluan mati.” Aku melanjutkan.

Adnan tidak menjawab…. kaki-kaki kami telah menginjakkan teras masjid. Obrolan singkat ini segera terhenti, karena sholat segera dimulai.

Setelah shalat, aku cuma bisa merenungi dialog sederhana dengan si bungsu ini. Meski tidak seratus persen benar, saya bisa menerima logika Adnan. Minimal pembenarannya adalah kalau usia masih muda ada 2 kemungkinan: akan menikmati usia tua atau mati muda. Tapi bagi orang yang sudah berusia tua kemungkinannya tinggal satu yaitu mati. Karena tak mungkin ia bakal kembali menikmati masa-masa mudanya.

Rabbi…. beri kami anak-anak yang shaleh.

Rabbi ….beri kami khusnul khatimah.

Cikarang Baru, 8 Syawal 1430H/27 September 2009