Tampilkan postingan dengan label jamaah sholat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label jamaah sholat. Tampilkan semua postingan

Selasa, 19 Januari 2010

HANDPHONE



Siapa yang gak punya hape pada zaman gini? “Hare gene gak punya hape?” demikian bunyi iklan sebuah operator telepon. Ya, hampir semua manusia dewasa yang saya jumpai punya hape. Teman-teman sebaya punya hape semua. Kini bahkan sebagian sudah ganti merek BlackBerry alias BB. Murid-murid SMP pada punya hape. Sambil mengasuh anak kecil pembantu rumah tangga juga ada hape melekat di tangannya.

Hape sudah jadi fenomena. Seakan setiap yang punya tangan punya hape.
Tak terbayangkan 20 tahun yang lalu, kita bisa dipanggil dan memanggil teman, istri dan anak kita setiap saat karena selalu melekat di tangan kita benda yang satu ini.

Tak terbayangkan oleh kita 20 tahun yang lalu, bahwa sebuah jari jempol bisa dipakai mengetik pesan singkat. Jari ini dengan lincahnya berpindah-pindah dari satu huruf ke huruf yang lain. O… inilah salah satu gunanya Allah memberikan sendi pelana pada jempol kita.

Gara-gara hape maka tugas imam shalat di masjid bertambah satu. Selain mengingatkan agar jamaah merapatkan dan meluruskan shafnya, imam juga mengingatkan jamaah agar mematikan hapenya sebelum shalat dimulai. Sering terjadi saat jamaah sedang khusyu’ shalat. Ketika syahdu mendengarkan lantunan merdu bacaan ayat Quran dari imam masjid, tiba-tiba lagu dangdut dari hape seorang jamaah menyeruak memenuhi ruangan masjid. Tak jarang pula tiba-tiba ada ayam berkokok sebagai tanda ada panggilan telpon. Atau tiba-tiba ada adzan dari sebuah hape.

Semua itu jelas mengganggu kekhusyukan shalat.

Dulu ada larangan memainkan musik di dalam masjid, kini jangankan marawis atau nasyid islami, lagu bertema jorokpun sering nyelonong masuk ke masjid melalui hape jamaahnya.

Saat memasuki sebuah masjid di Bekasi saya membaca kaligrafi doa masuk masjid terlukis indah di pintu gerbangnya. Di dalam masjid banyak goresan kaligrafi ayat-ayat al quran. Kini saat memasuki sebuah masjid ada tulisan tambahan yang tercetak diatas vinil dengan teknologi digital printing: “Harap mematikan HP”. Ketika sampai di dalamnya, di dinding masjid ada beberapa stiker yang bergambar hape dicoret, yang artinya sama: “Harap mematikan HP”.

Untung saja tidak didomplengi oleh iklan HP. Mungkin produsen hape belum berani masuk ke ranah ini. Bayangkan misalnya ada gambar HP dicoret lalu dibawahnya tertulis “Pesan ini disampaikan oleh NO***”.  Bisa untuk menambah kas masjid, deh…..

Suatu pagi saya berjalan-jalan di sekitar rumah. Saya melihat ada 2 orang pembantu rumah tetangga. Mereka sedang mengasuh atau menyuapi anak majikannya yang duduk di atas kereta bayi. Terdengar lantunan lagu-lagu percintaan mengalun dari radio hape mereka yang digeletakkan di kereta bayi itu. Sementara mereka asyik ngobrol.

O…. seandainya saja yang keluar dari radio hape itu alunan murottal ayat-ayat al Quran, betapa besar manfaatnya bagi perkembangan otak bayi-bayi itu.

Cikarang Baru, 3 Shafar 1430/19 Januari 2010
Choirul Asyhar
Owner Muslimart

Sabtu, 16 Januari 2010

MENDADAK

Tadi pagi seusai shalat subuh, di masjid diumumkan bahwa seorang teman kami, orang tua kami, guru kami, imam masjid kami telah berpulang ke rahmatullah jam 2 dini hari.

Pengumuman seseorang meninggal dunia adalah hal biasa, karena setiap orang pasti meninggal dunia. Tapi ketika mengenal siapa yang meninggal dunia, sering kita terhenyak kaget. Apalagi jika tidak didahului dengan sakit serius. Demikian juga yang saya dan beberapa teman jamaah masjid rasakan pagi ini. Kami kaget, seperti tak percaya. “Masak sih, kemarin masih jadi imam shalat maghrib?” Sebuah pernyataan ketidakpercayaan meskipun tak berarti menganggap ini berita bohong. Karena kami telah diajari bahwa setiap yang berjiwa pasti mengalami kematian.

Tapi secara akal manusia, memang banyak yang menganggap kematian ini sangat mendadak. Terbayang, sholat Jum’at masih menjadi imam, mahgrib juga demikian. Isya shalat juga di masjid meski jadi makmum. Lalu jam dua belas malam di bawa ke klinik terdekat, kemudian jam setengah dua meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit yang lebih besar.

Sering kita mendengar dalam pengajian bahwa kematian itu pasti datang. Dan Allah telah memberi tanda-tandanya. Sebagaimana kepada Nabi Daud, berupa rambut yang berubah memutih. Setiap umur kita bertambah itu adalah perjalanan pasti menuju kematian. Setiap mata yang semakin lamur, itu adalah tanda-tanda usia semakin udzur. Ketika badan semakin ringkih, itu adalah pertanda kita harus semakin paham kemana arah kehidupan kita. Ketika kekuatan tubuh semakin berkurang, tanda-tandanya masa kontrak hidup kita di dunia ini juga semakin berkurang.

Tapi rasanya berita itu tetap seperti mendadak!

Pantas saja ketika Rasulullah yang sangat-sangat dekat dihati para sahabat diumumkan meninggal dunia, ada saja para sahabat mulia yang tak mempercayainya. Seakan kehidupan yang indah ini, kalau boleh kita nikmatilah selama-lamanya. Seakan kebersamaan dengan Rasulullah mulia itu tak boleh dihentikan oleh waktu. Seakan semangat jihad ini tak semestinya dihentikan oleh kematian.

Ya, semangat hidup sering membuat kita lupa akan datangnya kematian. Meskipun tanda-tandanya hadir di dalam jasad kita, maunya besok kita masih hidup. Meskipun tanda-tanda di sekitar kita berupa anak-anak yang semakin beranjak dewasa telah hadir di pelupuk mata, seakan masih saja kita merasa bakal hidup terus sampai beberapa tahun ke depan.

Ya, semangat hidup memjadikan kita terlena dengan kematian yang bisa jadi sudah dekat disekitar kita. Jadi kematian itu bukan mendadak datangnya. Hanya diri kita saja yang tak siap menyongsongnya.

Jika demikian halnya, sebaiknyalah kita bersiaga. Ayo… bersiap siagalah!

Cikarang Baru, 30 Muharram 1431/16 Januari 2010

Senin, 12 Oktober 2009

Yang Lapang, Yang Sempit

Hari Ahad, waktu shalat Isya’.

Saya kaget sekaligus bersyukur, masjid di kampungku hampir separuh kapasitasnya terisi jamaah shalat Isya’. Ada 5 shaf. Dari 11 shaf yang tersedia.

Setelah shalat, saya tunda berwirid. Saya sempatkan menghitung jumlah jamaah per shafnya. Sebelum sebagian mereka keburu pulang. Rata-rata 28 orang pershafnya. Mereka dewasa, remaja dan anak-anak. Jadi dikalikan 5 sama dengan 140 jiwa. Kalau total kapasitasnya 308 orang, berarti tingkat ‘hunian’ malam ini adalah 45%.

Kenapa ini terjadi?

Saya mulai menduga-duga. (karena memang belum pernah diadakan penelitian)

  1. Jamaah banyak karena ini hari libur. Jadi banyak warga yang punya waktu untuk shalat berjamaah di masjid.
  2. Jamaah banyak karena meskipun libur mereka tidak jalan-jalan ke mall. Mendingan istirahat di masjid sebagai persiapan besok Senin kerja lagi.
  3. Jamaah banyak karena acara TV hari Ahad memang tidak seru. Sinetron banyak yang libur tayang (yang ini adalah data lama, karena saya sudah luamaa banget putus hubungan dengan sinetron. Apakah sekarang sinetron masih libur Sabtu- Ahad, saya gak tahu).

Sudahlah, gak usah menduga-duga. Yang jelas, saya menyaksikan wajah-wajah ikhlas di barisan-barisan shaf shalat malam ini. Semoga Allah menerima amal ibadah kita.

Saya menepis dugaan-dugaan itu, dan saya ganti dengan rasa syukur yang dalam. Anehnya, beberapa saat kemudian, kembali saya terbenam dalam hitung-hitungan di kepala saya.

Kalau dari seluruh jamaah itu ternyata setiap ayah mengajak satu orang anak laki-lakinya, berarti jamaah shalat itu berasal dari 70 rumah.

Tuinggggg!

Rasa kecewa muncul lagi….

Di lingkunganku ada sekitar 500 rumah yang berpenghuni. Plus minus 90%-nya muslim. Jadi yang shalat ke masjid sama dengan 70 per 450-nya atau kurang lebih 15% saja.

Wow, jadi, baru 15% yang shalat di masjid kami yang megah dan termasuk berukuran besar ini.

Saya menaksir biaya pembangunan masjid ini sudah mencapai 1 M. Tapi sayang pemanfaatannya oleh warga belum maksimal. Padahal warga yang memanfaatkannya tidak dipungut biaya sama sekali. Dengan fasilitas air wudhu, toilet, listrik, sound system yang bagus, suara muadzin dan jasa imam yang bacaannya indah dan tartil. Semua gratis.

Belum lagi kesempatan silaturahim dengan sesama warga. Dan yang terpenting, warga yang shalat di sini bisa mengunduh kebaikan melebihi 27 kali lipat dibandingkan shalat sendiri di rumah.

Belum lagi dengan dibangunnya masjid ini, warga yang datang ke masjid, setiap langkahnya bernilai kebaikan dan menggugurkan dosa-dosanya.

Ini fasilitas yang fantastics.

Tapi saat ini hanya 15% yang memanfaatkannya. Itupun kalau hari libur saja.

Tiunggggg!

Alhamdulillah…. Saya menepis kekecewaan itu dan menggantinya dengan rasa syukur.

Kalau empat puluh persen saja warga hadir di masjid ini setiap shalat, betapa sempitnya masjid kami.

Jadi biarlah kini sementara mesjid kami serasa lapang dalam kesempitannya.

Nanti toh, entah kapan, seiring dengan kesadaran dan kemajuan pola fikir, masjid kami akan menjadi terasa sempit seperti saat-saat Ramadhan kemarin.

Sempit tapi menyenangkan,….

Karena kami sekampung semua berjamaah, tunduk sujud kepada-Nya.

Cikarang Baru, 22 Syawal 1430H/12 Oktober 2009

Selasa, 29 September 2009

Mati Duluan

Setelah azan maghrib, saya dan dua anak laki-laki saya Abyan (13) dan Adnan (5) pergi ke masjid dekat rumah. Dalam perjalanan seperti biasanya Adnan ngajak ngobrol.

“Ayah, berapa umur Ayah?”

“Empat puluh tiga!” jawabku cepat… yang ternyata salah.

“Empat puluh empat, Yah…” Abyan cepat mengkoreksi.

“O ya, sebentar lagi pas empat puluh empat.” Kataku.

“Kalau Ibu?” Tanya Adnan selanjutnya.

“Empat puluh satu!” jawabku sambil mempercepat langkahku, karena sebentar lagi pasti iqamah akan dikumandangkan. Abyan dan Adnan ikutan mempercepat langkahnya.

“Berarti Ayah duluan mati!” seru Adnan santai…. Tapi tetap mengagetkanku.

“Hhh… Apa?” Tanya Abyan kepada Adnan.

“Berarti Ayah duluan mati.” Ulangnya ringan.

Aku tetap mempercepat langkahku, sambil tersenyum, agak kecut. Siapa orangnya yang gak takut mati.

“Kalau Mas Abyan dan Mbak Ahsana siapa yang duluan mati?” tanyaku.

“Ya, mBak Ahsana.. kan dia lebih tua.”

“Kalau Adnan dan Mbah Athaya?”

“Ya, duluan Mbak Athaya.”

Aku tersenyum kecut dengan logika Adnan. Yang lebih tua bakal mati duluan.

“Kalau semua mati duluan, nanti Adnan kalau mati siapa yang nguburin?” godaku.

“Ya, orang-orang yang lainlah…” jawabnya nyantai.

Aku tersenyum lagi, ….sebenarnya sih menahan haru. Ketidakmengertiannya membuat dia gak sedih kalau ditinggal mati ayah ibu dan saudara-saudaranya.

“Adnan, pernah denger anak muda mati duluan?” tanyaku.

“Pernah, ada juga bayi yang mati.” Jawabnya santai, tanpa beban bahwa ini antitesis dari kesimpulannya terdahulu.

“Itu berarti umur manusia itu hanya Allah yang tahu.” Aku menjelaskan.

Ada yang mati saat umurnya sudah tua, ada pula yang masih muda tapi duluan mati.” Aku melanjutkan.

Adnan tidak menjawab…. kaki-kaki kami telah menginjakkan teras masjid. Obrolan singkat ini segera terhenti, karena sholat segera dimulai.

Setelah shalat, aku cuma bisa merenungi dialog sederhana dengan si bungsu ini. Meski tidak seratus persen benar, saya bisa menerima logika Adnan. Minimal pembenarannya adalah kalau usia masih muda ada 2 kemungkinan: akan menikmati usia tua atau mati muda. Tapi bagi orang yang sudah berusia tua kemungkinannya tinggal satu yaitu mati. Karena tak mungkin ia bakal kembali menikmati masa-masa mudanya.

Rabbi…. beri kami anak-anak yang shaleh.

Rabbi ….beri kami khusnul khatimah.

Cikarang Baru, 8 Syawal 1430H/27 September 2009

Minggu, 23 Agustus 2009

Wah, kok banyak …………?

Sabtu, tanggal 22 Agustus 2009. Dhuhur. Saya seperti biasanya mengajak anak terkecil saya, Adnan (5), ke masjid untuk shalat berjamaah.

“Wah, kok banyak orang…?” itu kata-kata yang terlontar spontan dari mulutnya. Sesaat setelah kakinya melewati pintu masjid. Rupanya dia heran kenapa dhuhur ini jamaah sholat dhuhur sampai lebih dari 3 shaf. Berarti lebih dari 75 orang. Biasanya cuma satu shaf. Baik hari libur maupun hari kerja.

“Iya, Awal Ramadhan banyak yang shalat di masjid.” Jawab saya spontan dan tak sempat menutup-nutupi kenyataan ini. Padahal bisa saja saya jawab “Iya, kan hari libur… mungkin banyak yang tidak bepergian jadi sempat sholat dhuhur berjamaah.”. Entah kenapa justru jawaban jujur itu yang saya berikan.

Oke, apapun itu. Ini pelajaran berharga bagi kita orang dewasa. Betapa anak sekecil Adnan ternyata memperhatikan betul keadaan lingkungannya. Dia memperhatikan betul kondisi masjid di siang hari di hari-hari biasa. Maka sekarang ini adalah luar biasa!
Biasanya dia selalu dapat shaf depan meskipun dating terlambat. Karena shafnya cuma satu! Kini dia ada di paling belakang.

Dan ‘konyol’nya kok saya terus terang saja memberikan jawaban. Karena awal Ramadhan banyak orang merindukan masjid. Mereka masih dipenuhi dengan euphoria suasana ruhiyah yang tinggi. Sehingga kaki ringan saja melangkah ke masjid, meskipun sebenarnya tidur di rumah lebih enak. Perut lapar, hawa panas, emang enakan tidur atau shalat di kamar yang ber AC. Tapi berkah Allah di bulan Ramadhan inilah yang menyebabkan mereka ringan-ringan saja keluar rumah dan shalat berjamaah di masjid. Suatu hal yang jarang dilakukan kebanyakan orang.

Melihat suasana ini, biasanya hati saya terharu….. Oh, indahnya masjid kita jika terus dihiasi oleh kedatangan warga sekitar masjid setiap adzan dikumandangkan. Mesjid indah tidak hanya oleh ornamen keramik, kaligrafi, karpet indah dan mahal, ventilasi berprofil kaligrafi, podium khotib yang artistic, kaca lukis, atau suara imam plus sound system yang menghasilkan suara teduh menyentuh kalbu. Tapi juga oleh banyaknya trafik jamaah datang pergi setiap waktu shalat.

Shaf-shaf shalat yang tersusun penuh dan lurus. Shaf-shaf yang penuh dari barisan terdepan sampai terbelakang. Gemuruh takbiratul ikhram yang mengikuti takbir sang imam. Suara “Amiin” yang indah, merdu dan bergemuruh memenuhi ruang-ruang kosong masjid. Juga ruang-ruang kosong kalbu. Seirama dengan suara “Wa ladhldhoooollin” yang sebelumnya dilantunkan sang Imam. Lalu gerakan serentak para makmum mengikuti gerakan imam. Rukuk, I’tidal. Sujud –duduk-sujud. Lalu berdiri lagi. Serentak bergerak memenuhi aba-aba takbir dari Sang Imam. Kemudian terakhir serentak pula salam ke kanan dan ke kiri.

Inilah keindahan masjid yang sesungguhnya yang saya bayangkan. Bagaimana indahnya ketika setiap pengunjung masjid saling bersalaman saat dating dan pergi. Menanyakan kabar dan kesehatan. Saling mengelus kepala anak-anak kita. Wah, benar-benar silaturahim yang menyemangati dan memanjangkan umur.

“Ayah… kok masih banyak yang sholat?” tanya Adnan tadi malam saat shalat maghrib pada hari yang sama, 22 Agustus 2009. Aku terhenyak dengan pertanyaan spontannya. Rupanya dia menggarisbawahi benar jawaban saya saat dhuhur itu. Dalam jawaban saya terkesan jelas banyaknya jamaah shalat di masjid hanya di awal-awal saja. Dan masalahnya, bagi Adnan dari dhuhur sampai maghrib adalah waktu yang lama. Karena selama menunggu maghrib itu dia beberapa kali merengek lapar dan haus menahan puasanya.

Mungkin logika Adnan, setelah sekian lama berlalu, seharusnya jumlah warga yang sholat berjamaah di masjid kembali normal lagi. Tak sebanyak ini.

Cikarang Baru, 23 Agustus 2009/2 Ramadhan 1430H

Choirul Asyhar
Berharap keindahan masjid terjaga sepanjang waktu.