Demokrasi. Makhluk apa sih ini? Sejak 1998 makhluk ini seperti merajalela di negri kita. Dan rakyatnya menyambutnya gegap gempita. Seakan dia adalah makhluk sempurna yang akan menyelamatkan negeri ini. Kedatangannya sangat dielu-elukan, bagai satria piningit. Hidup terimpit demokrasi semu selama 53 tahun, seakan kini bagai menemukan anak yang telah lama hilang.
Tapi benarkah kita siap berdemokrasi?
Bukan hanya siap berdemonstrasi?
Kita paham bahwa demokrasi menghargai setiap suara bernilai sama. Suara professor sama dengan suara si bodoh. Suara ulama sama nilainya dengan suara liberalis dan atheis. Suara seorang ayah sama saja nilainya dengan suara anak remajanya. Suara seorang ibu, dianggap sama nilainya dengan suara seorang remaja durhaka. Suara si jujur sama saja derajatnya dengan suara koruptor. Suara penegak hukum sama dengan suara mafia hukum. One man one vote. Lalu kelompok yang terbanyak suaranya dialah yang menang. Yang kurang suaranya dialah pecundang.
Lalu Pilkada dimana-mana sepanjang tahun tak kenal henti. Selesai di sini berlanjut di sana. Di sana usai, diselenggarakan lagi di sono. Di sono beres, kembali lagi ke sebelah sanaan lagi. Terus-terus-terus. Lalu akhirnya kembali diselenggarakan lagi di sini. Dana APBN yang segitu-gitunya digerogoti untuk penyelenggaraan berbagai pesta ini. Belum lagi dana dari kantong kandidat yang entah dari mana datangnya. Tiba-tiba saja para kandidat menjadi seorang kaya raya yang baik hati kepada calon rakyatnya.
Maka ..... pengalaman berpesta demokrasi, ternyata tak menjadikan kita paham dengan makhluk satu ini. Yang banyak itulah yang menang. Yang kurang banyak itu bagaimanapun harus mengaku sebagai yang kalah. Untuk menyelengraan ini ada wasit KPU dan KPUD, ada pengawas Bawaslu, dan Bawasda.
demo setelah pilkada Depok |
Tapi, setiap usai pesta demokrasi. Sering terjadi demonstrasi. Seakan demonstrasi adalah saudara kembarnya si demokrasi. Anehnya selalu kelompok yang kalah mengaku dicurangi, sehingga harus berdemonstrasi. Keberadaan Bawasda dan KPUD bagai bukan siapa-siapa. Jika demikian, benarkah kita telah mengenal demokrasi? Atau demokrasi bisa didefinisikan dengan demonstrasi? Atau jangan-jangan kita salah memilih anak emas yang bernama demokrasi itu?
Menyaksikan sepakbola piala Asia di Qatar melalui layar kaca, ada pertandingan yang indah dan menarik. Ada pertandingan keras dan kasar. Tapi ada persamaan di antara keduanya. Apapun pertandingan yang dipertontonkan, pemain dan penonton tetap patuh kepada keputusan wasit. Kemengan mutlak ditentukan oleh wasit.
Usai pertandingan semua damai pulang ke rumah masing-masing. Kalau ada yang tak puas, cukup dipendam dalam hati. Boleh dilontarkan tapi tak perlu didemonstrasikan untuk minta pertandingan ulang, apalagi harus diputuskan oleh pengadilan.
Kalau pilkada bisa seperti ini. Tentu indah nian demokrasi. Usai memilih di kotak suara, selesailah kewajiban rakyat. Bola ada di tangan panitia pemilih, saksi-saksi, KPUD dan seterusnya. Rakyat tinggal menunggu hasilnya. Apapun!
Oh, indah nian demokrasi.
Tapi itu sayangnya tak ada di negeri ini.
Cikarang Baru, 25 Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar