Minggu, 27 Juni 2010

10 > 16

Setelah maghrib anakku Adnan minta uang gopek. Dari jauh terdengar suara melengking bunyi uap tukang kue putu. Adnan, 6 th, memang doyan kue putu.
”Ayah, aku minta uang gopek.” katanya.
”Untuk apa?” tanyaku.
”Beli kue putu satu.” jawabnya.

Oke, tanpa banyak berdebat aku kasih dia uang gopek. Alasannya pertama karena uang gopek itu uang kecil. Yang kedua kue putu termasuk makanan jajanan yang sehat.
Setelah kuberi gopek, Adnan kabur keluar rumah sambil berteriak nyaring memanggil tukang kue putu. Suara nyaringnya menyaingi suara lengkingan uap kue putu.

Tak berapa lama kemudian Adnan balik lagi dengan tangan hampa.
”Ayah, kue putunya seribuan!” keluhnya.
”Ah... masak seribu??” tanyaku.
”Iya, kata abangnya.” jawabnya.
Karena kasihan melihat mukanya yang kecewa, kurogoh kantongku. Ada uang delapan ribu.
”Udah, beli delapan ribu.” kataku.
Adnan senang lari kabur meninggalkanku. ”Bang....!” teriaknya kepada abang tukang kue outu.

Di dalam rumah aku masih tak percaya harga kue putu sekarang seribu. Sedemikian tinggikan inflasi di negeriku ini. Aku nguping obrolan Adnan dengan tukang kue putu. Kudengar delapan ribu dapat enam belas potong. Lha berarti satunya gopek dong. Kataku dalam hati. Lalu aku menyimpulkan si abang tadi menghargai seribu karena Adnan Cuma mau beli satu potong. Sementara biaya produksinya satu, dua, tiga atau empat potong sama saja. Sekali masak uapnya menyembul dari 4 lubang. Aku lalu maklum dengan perhitungan si abang.

Sambil membawa masuk 16 potong kue putu Adnan bilang: tadi abangnya bilang seribu itu untuk 2 potong. ”Jadi gak boleh beli satu, Yah.” jelasnya. Aku sekali lagi maklum.

Baru menyantap satu potong terdengar Adzan Isya’
”Ayo, sholat dulu.” kataku.
”Jangan dimakan ya...!” kata Adnan kepada kakak sulungnya yang gak sholat karena sedang mendapat tamu bulanan. ”Sampai kita semua pulang dari masjid.” lanjutnya.

Berangkat ke masjid, Adnan melihat tukang putu di pengkolan jalan.
”Yah, kalau lima ribu dapat berapa?” tanyanya.
”Ya, sepuluh.” jawabku.
”Lebih banyak dong....” katanya. Maksudnya daripada 16 potong yang dia beli dengan uang delapan ribunya itu.
”Ah, masak?” kataku sambil ngetes.
”Emang sepuluh sama enam belas banyakan mana?” tanyaku.
”Sepuluh dong!” katanya sambil terus berjalan menuju masjid.
Aku elus kepalanya sambil gemes juga. Adnan tadi pagi menerima rapot kenaikan kelas. Dia naik ke kelas 2 dan dapat ranking 3 di kelasnya. Tadi pagi aku bangga, lha sekarang kok gak tahu mana lebih besar sepuluh atau enam belas.

”Iya, kan yah....” katanya lagi. Lalu sambil terus melangkah menyebarangi lapangan futsal dia berhitung:

”Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan .....” terus dia diam sejenak. Lalu dilanjutkan ”...... ENAM BELAS, sebelas, dua belas, tiga belas, empat belas, lima belas, SEPULUH!”

Aku tersenyum dengan akal-akalannya.
”Iya, kan yah!” katanya.

Ku elus kepala gundulnya. Aku jadi teringat seorang teman pengusaha kuliner yang juga suka membolak-balik urutan angka. Ketika membuka warung bakso yang ke dua, dia tulis di spanduknya CABANG ke-3. Ketika ditanya warung yang pertama di mana? Dia menjawab di suatu tempat. Terus yang kedua di mana?

”Yang kedua baru mau di buka, tapi lokasi yang saya incar belum dapat.” jawabnya ringan.
”Berarti ini yang kedua dong....!”

Rupanya dia menganut paham ketidakteraturan. Masalah urutan itu kan hanya kesepakatan umum. Boleh saja memberi nama warung ke-3 untuk warungnya yang ke-2. Warung ke-10 untuk warungnya yang ke-4 dan sebagainya. Ini katanya aliran otak kanan. Imajinatif. Tidak harus mengikuti pakem pada umumnya.

Katanya pengusaha sukses kebanyakan dominan peran otak kanannya. Jika iya, semoga anakku Adnan nanti jadi pengusaha sukses. Tak peduli sisi mana yang dominan dari otaknya. Harapan saya sih, peran hatinya yang dominan.

Cikarang Baru, 14 Rajab 1431/27 Juni 2010