Senin, 19 April 2010

SEIMBANG

Ketika membeli beras kita pasti mau beras yang kita beli beratnya benar. Artinya berat anak timbangan milik pedagang beras sama dengan berat beras yang bakal jadi milik kita. Itu berarti berat beras seimbang dengan berat anak timbangan. Selanjutnya uang yang kita berikan kepada pedagang seimbang dengan barang yang kita beli.

Hidup ini memang harus dalam keseimbangan. Seimbang antara menerima dan memberi. Seimbang antara belajar dan mengajar. Seimbang antara membaca dan menulis. Seimbang antara menyerap ilmu dan beramal. Seimbang antara konsumsi perut dan konsumsi otak. Seimbang antara kecerdasan otak dan kelurusan hati.

Ada sedikit saja yang tak seimbang, maka akan njomplang. Seperti timbangan itu.
Ketika manusia silau dengan kehebatan fisik, tanpa mempertimbangkan kecemerlangan otak, maka muncullah tokoh-tokoh idola dari selebritis di film-film laga. Ketika masyarakat silau dengan keindahan fisik, tanpa memperhitungkan keindahan akhlak maka lahirlah pendapat-pendapat miring. Njomplang. Tak berimbang.

Demikian pula ketika demi perjuangan demokrasi, lalu demokrasi dipraktrekkan tanpa nilai dan norma yang sudah berakar dalam adat, budaya dan agama masyarakat maka terjebaklah kita dalam totalitarianisme.

Allah dan Rasul-Nya mengajar kita doa keseimbangan ini. Rabbanaa aatinaa fiddunya hasanah wa fil aakhiroti hasanah. Wa qinaa ’adzaa bannaar. Ini adalah permohonann untuk mendapatkan kebaikan hidup di dunia dan di akhirat. Bukan cuma hebat di dunia tapi njomplang di akhirat. Atau sebaliknya, pasrah tak berdaya di dunia dan berharap sukses di akhirat. Atau malah lebih parah lagi: di dunia sengsara dihukum oleh manusia, di akhirat oleh Allah dikuatkan pula hukumannya.

Si Fulan pulang dari masjid setelah shalat berjamaah. Di perjalanan bertemu dengan temannya.
”Wah mulai rajin, nih, shalatnya.” tegur temannya
”Alhamdulillah, iya dong. Hidup kan harus seimbang, jangan bisnis mulu, lupa shalat.” jawab Fulan
”Aku juga shalat di rumah.” kilah temannya.
”Aku mau mengejar ketertinggalan. Shalat di masjid nilainya lebih dari 27x shalat sendirian. Ke masjid nilai keutamaannya sangat tinggi. Berpahala dan menggugurkan dosa.” Fulan menjelaskan alasannya.
Temannya tersenyum mendengarnya sambil mengangguk-angguk kecil.

Rupanya Fulan tau benar bagaimana cara cepat menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhiratnya. Temannya mudah-mudahan faham bahwa caranya sangat lambat untuk mencapai keseimbangan itu. 

Cikarang Baru, 4 Jumadil Ula 1430H/ 19 April 2010


Tulisan ini juga bisa dibaca di facebook 

Jumat, 02 April 2010

Sedih dan Gembira

Banjir sudah surut. Alhamdulillah. Saya gembira menyaksikannya. Warga korban banjir juga gembira. Karena mulai bisa masuk rumah lagi. Rumah yang selama 10 hari ’dipinjam’ oleh air dari Sungai Citarum.

Ada gembira ada sedih. Gembira ketika bisa kembali ke rumah. Tapi sedih juga ketika menyaksikan banyak harta benda rusak setelah 10 hari di peluk sang air. Ada pula tembok rumah yang jebol.

”Semoga ada rizki untuk memperbaiki yang rusak.” kata si pemilik rumah. Sayapun mendoakan kesabaran selalu ada dalam jiwanya dan Allah segera mengganti hartanya yang rusak dengan yang lebih baik.

Ada sedih ada gembira. Seorang Ustadz sedih rumahnya tenggelam, tapi dia gembira bisa melayani masyarakatnya menyalurkan bantuan dari berbagai komunitas. Kesedihan kini terbenam dalam kepuasannya berkhitmat kepada masyarakatnya.

Ada gembira ada sedih. Demikian juga dengan teman-teman yang selama ini setiap hari menggalang dan mengirimkan bantuan. Gembira karena banjir sudah surut. Warga bisa kembali hidup normal. Tapi sedih juga. Karena kesempatan berbagi menyenangkan orang yang ditimpa musibah telah usai. Kesempatan menabung kebaikan sudah ditutup Allah.

Ada gembira ada sedih. Gembira menggembirakan orang di pengungsian. Sedih, kemana lagi harus berbagi.

Yang paling sedih ada pula. Yaitu orang-orang yang belum sempat mengulurkan bantuan ketika tetangganya tertimpa musibah. Yang berbagi bergembira melihat orang senang. Lalu mencatatkan amal soleh di sisi-Nya. Yang terlambat berbagi bersedih gigit jari. Menyesal kenapa tak bersegera bertindak ketika mendengar berita musibah. Padahal di kantong ada beberapa ribu sisa belanja.

Maka saya faham kenapa ada perintah fastabiqul khoirot. Berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan. Maka saya faham ketika seorang teman bersegera menyalurkan bantuan ketika ada donatur memberikan dana lima juta rupiah.

”Besok aja gimana?” kata saya melalui fasilitas chatting di internet. Karena di depan rumah saya terlihat langit gelap pertanda bakal turun hujan lebat.
”Saya sudah belanja, Pak. Semua sudah siap di mobil.” katanya. Diapun berangkat bersegera menyelesaikan amanah yang diembannya.

Benar saja, dua jam kemudian semua barang di mobilnya sudah berpindah tangan. Di lokasi banjir, matahari terik terang benderang.

Tentu dia sangat gembira menyelesaikan amanah dengan baik. Demikian juga dengan penerima bantuan. Saya juga gembira karena saran saya tadi tak digubrisnya.

Ada sedih ada gembira. Ayo benamkan kesedihan dengan kegembiraan ber-fastabiqul khoirot.

Cikarang Baru, 2 April 2010