Senin, 28 Desember 2009

Bang Jo di Bekasi

Bagi yang belum pernah tinggal di Jawa Tengah pasti belum tahu arti kata Bang Jo.

Saya memang orang Jawa Timur, tapi sempat mampir hidup di Jawa Tengah, sebelum (akhirnya?) sekarang merapat di Bekasi, Jawa Barat.

Bang Jo bukan nama orang Betawi seperti Bang Ali, Bang Jiun, Bang Jampang ataupun Bang Yos (mantan Gubernur DKI, yang sebenarnya orang Jawa itu). Dalam istilah warga Jawa Tengah (dan DIY) Bang Jo adalah lampu lalu lintas. Bang Jo dari kata abang ijo (merah dan hijau), salah dua dari tiga lampu pada lampu lalu lintas. Kuning gak disebut mungkin karena jarang menyala. Ini sangat membahayakan, karena pengendara bisa berhenti mendadak jika lampu tiba-tiba merah. Atau melaju mendadak karena tiba-tiba lampu menyala hijau dan pengendara mobil dibelakang dengan kesalnya memukul klakson mobilnya agar kita yang paling depan segera tancap gas. Memang kalau gak buru-buru khawatir lampu segera berubah jadi merah.

Nah…. ketidak menentuan ini tidak saya rasakan ketika menjelajahi kota Bekasi. Di sebelah lampu Bang Jo itu ternyata dipasang lampu timer yang memberitahukan kepada pemakai jalan raya, berapa detik lagi lampu merah atau hijau menyala. Jika lampu merah menyala, di sebelahnya ada lampu timer merah yang berhitung mundur (count down). Ini memberitahu kita merapa detik lagi kita harus sabar menunggu. Jadi gak perlulah kesal karena menunggu dalam waktu yang tak diketahui.

Yang paling nyaman tentu kalau lampu hijau yang giliran menyala. Di sebelahnya ada lampu timer hijau. Jadi kita yang masih jauh gak perlulah menancap gas dalam-dalam, kalau tahu bahwa lampunya masih bakal menyala 120 detik misalnya. Angkanya jelas tampak dari kejauhan. Sepanjang mata kita masih agak bagus. Jadi santai saja. Yang penting diperkirakan saja saat di perempatan lampu merah belum menyala.

Sebaliknya jika lampu hijau tapi timernya tinggal hitungan dibawah sepuluh detik, juga gak perlulah kelabakan ngebut. Toh gak bakalan keburu. Nanti malah terjadi kecelakaan. Jadi santai saja. Enak, toh…..

Fasilitas ini memang membuat pengendara nyaman ketika mendekati perempatan atan pertigaan.

Karena saya beredarnya di Cikarang-Bekasi jadi saya pertama kali tahu fasilitas seperti ini ya ketika menjelajah kota Bekasi. Belakangan saya tahu ini juga ada di kota Jakarta. Dasar udik!

Siapapun dan dimanapun yang duluan, fasilitas ini sangat bermanfaat dan perlu diterapkan di wilayah lain. Demi keselamatan pengendara kendaraan bermotor.

Salam Bang Jo,

Choirul Asyhar

http://ayomenulisbuku.wordpress.com


Selasa, 22 Desember 2009

Bisnis Anakku

Entah aku harus bilang apa.

Kemarin karena sakit, sejak subuh aku tidur lagi sampai dhuhur. Dua orang anakku berangkat ke sekolah naik ojek. Biasanya aku yang mengantarkan mereka. Kemarin tidak, bahkan aku juga gak kasih uang jajan.

Pulang sekolah anakku yang kecil, 5 tahun, membawa 2 stiker Yu-gi-oh baru untuk ditempel di bukunya. Aku paling kesel kalau dia beli stiker atau kartu-kartunya pakai uang jajannya. Bagiku jajan itu ya makanan. Tapi bagi anakku mainan itu jajan juga.

Tiung….! Sebelum marah, aku teringat dari mana dia dapat uang untuk beli stiker?

“Adnan jualan makanan, Yah!” jelas Athaya, kakaknya.

“Makanan apa?” tanyaku.

“Yang kemarin, Yah.” Jelas Athaya lagi.

O, ya aku teringat kemarin mereka menengok sepupunya di Jakarta. Setiap bepergian, di mobil selalu siap snack dan minuman. Kalau tidak, mereka akan suntuk dan berantem sepanjang jalan. Ada kacang, wafer, biscuit atau pilus dan lain-lain.

Nah, kemarin ada sisa beberapa bungkus. Dan itulah yang dijual anak bungsuku.

“Adnan bawa tiga. Yang satu dimakan, yang dua dijual gopekan…” kini Adnan menjelaskan. Jadi dia dapat uang seribu rupiah. Dan uang itu yang dipakai untuk beli dua buah stiker.

Aku gak jadi marah. Aku tersenyum. Bangga dengan potensi berbisnisnya.

Ini bukan yang pertama dilakukan oleh Adnan.

Dia juga pernah menjual koleksi kartu-kartunya. Awalnya karena aku dan ibunya marah karena hampir setiap hari dia jajan kartu sepulang sekolah.

“Yah, kartuku sudah gak ada lagi… tinggal ini.” Katanya suatu hari sambil menunjukkan beberapa lembar kartu saja di tangannya.

“Emang pada dikemanain?” tanyaku.

“Adnan jual!” katanya bangga.

“Berapa harganya?” tanyaku.

“Seribu dapat sepuluh.” Jawabnya.

“Lho, belinya dulu berapa?” tanyaku.

“Seribu dapat lima.” Jawabnya.

“Rugi dong!” kataku.

“Biar cepet abis… kan Ayah gak suka kalau banyak kartu di rumah.”

Aku terdiam, ada senyuman sedikit dibibirku. Menjual memerlukan keberanian tersendiri. Ini sudah lebih berharga daripada harga kartu yang dijual rugi. Lagian ini belum tentu rugi, karena semuanya kartu bekas.

Kemarin sore saya bertanya kepadanya bagaimana dia menawarkan dagangannya.

Dia mempraktekkan, “Teman, aku punya makanan. Mau nggak kamu beli makananku?”

“Waktu jual kartu gimana caranya?” tanyaku.

“Gampang, Yah…. Bilang aja, teman-teman aku punya kartu, mau beli nggak?”

Entahlah aku mau bilang apa… senang tapi juga khawatir.

Ada kekhawatiran, jangan-jangan ada yang berkomentar negatif. Misalnya anak kecil kok sudah cari duit. Siapa tuh yang ngajarin, kalau bukan ayahnya. Anak kecil kok gak dikasih uang jajan, sampai jual-jual mainan dan makanannya sendiri.

Tapi…. biarin aja, deh…

Kekhawatiran itu aku pupus. Toh, belum terjadi, ngapain dipikirin.

Maka… pagi ini anak-anakku membekali dirinya dengan beberapa teh gelas produksi kami. Adnan membawa 3 gelas. Satu gelas untuk dirinya, dua gelas untuk dijual. Athaya membawa 4 gelas. Satu untuk dirinya sendiri, satu diberikan gratis untuk teman akrabnya dan dua untuk dijual. Hasil penjualannya akan jadi uang jajan. Mereka belajar tentang tujuan yang jelas…. Agar bisa jajan, ya jualan. Ada reason!

Kini, dengan menulis petualangan bisnis anak-anakku ini, ….. aku tak peduli lagi Anda mau bilang apa kepada bapak ndableg seperti aku ini. Mudah-mudahan sih komentarnya positif (minimal aku akan menjadikannya positif, apapun komentar Anda).

Cikarang Baru, 5 Muharram 1431 H/22 Desember 2009

Selasa, 24 November 2009

MUDAH

Mudah lawannya sulit. Setiap orang suka yang mudah-mudah. Sering kita mendengar “Saya doakan kamu diberi kemudahan oleh Allah.” Jadi meskipun awalnya sulit, betapa senangnya kita ketika tiba-tiba muncul “aha”. Muncul ide sehingga yang sulit itu jadi mudah. Bahkan untuk menyemangati kita agar tak berkeluh kesah dan putus asa, Allah berfirman “Sesunggahnya bersama kesulitan ada kemudahan.”

Maka saat sekolah, kita harus bersusah-sisah belajar setiap hari sehingga saat ujian kita mendapati kemudahan dalam mengerjakannya. Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Demikian kata pepatah.

Tapi kini banyak orang yang tak mau bersakit-sakit, tapi maunya langsung mendapatkan yang mudah-mudah. Mau kaya tanpa kerja. Mau pintar tanpa belajar. Tak mau masalah yang rumit, maunya masalah yang remeh temeh saja.

Di pengadilan juga demikian.

Kalau bisa masalah yang ditangani yang mudah-mudah saja. Misalnya kasus pencurian ayam. Pencurinya tertangkap basah, Dan tak bertele-tele pembelaannya, Syukur langsung ngaku. Bahkan tak ada pengacaranya. Terakhir ada kasus pencurian listrik melalui charger HP. Gara-gara ngecharge HP di ruang umum, diseret ke pengadilan dituduh mencuri listrik. Atau seorang nenek 55 tahun yang mencuri 3 buah kakao, yang dituntut 6 bulan penjara. Tanpa pengacara dan tanpa pembelaan. Nenek yang lugu dan jujur mengaku bersalah di depan hakim dan minta maaf kepada pemiliknya. Yang akhirnya dijatuhi hukuman 1,5 bulan penjara dengan masa percobaan 3 bulan.

Masalah sepele, penyeselesaiannyapun sepele. Karena terdakwa dengan mudah mengakui kesalahannya bahkan mau meninta maaf dan berjanji tak akan mengulangi kesalahannya. Kejahatan yang dilakukan karena kebodohan dan kemiskinan memang mudah dilakukan dan mudah pula diselesaikan. Si pelaku setelah mendapatkan penjelasan dengan mudah memahami kesalahannya dan minta maaf. Bahkan bertaubat di depan majelis hakim yang terhormat. Meskipun dia dengan demikian tetap miskin.

Tidak demikian dengan masalah besar dan rumit. Penyelesaiannya pun belibet. Karena jaksa penuntut umum harus susah payah menggiring terdakwa agar mengakui kesalahannya. Dan terdakwa yang pintar dan kaya, berupaya keras menutupi kesalahannya. Selanjutnya mengaku tak bersalah. Didukung oleh orang-orang pintar ahli hokum yang di pengadilan akan menunjukkan kelihaiannya bersilat lidah. Karena paham betul celah-celah hokum yang bisa digunakan oleh pengacara dan terdakwa untuk bersembunyi dari kenyataan. Celah-celah itu adalah ruang gelap tempat bersembunyi dari kesalahan. Agar tak nampak oleh majelis hakim. Sehingga yang tampak di depan pengadilan adalah kebenaran terdakwa belaka: bahwa ia tak melakukan kejahatan yang sudah disembunyikan itu. Bahwa dia adalah benar. Bahwa dia pantas dibebaskan dari segala tuntutan. Bahkan dia boleh menuntut balik fitnah keji itu. Demi hokum yang tak mampu melihat ruang-ruang gelap itu.

Rumit. Belibet.

Memang dalam hal ini enakan ngomong sama orang bodoh dan lugu. Daripada orang pinter tapi cerdik dan culas.

Mengadili orang bodoh, kebenaran seperti terang benderang.

Mengadili orang pintar lengkap dengan pengacaranya yang handal dan bertarip mahal seperti melihat di ruang gelap.

Cikarang Baru, 24 November 2009/7 Dzulhijjah 1430H

Kamis, 12 November 2009

KONTRAKAN

Memang gak enak jadi orang kontrakan. Rumah ngontrak. Setiap tahun pindah rumah. Karena rumah lama biasanya kalau diperpanjang kontraknya nilai kontraknya naik. Maka setiap tahun harus berburu rumah kontrakan yang lebih murah atau minimal sama dengan yang lama. Baru jalan 6 bulan, sudah kepikiran untuk ngumpulin uang lagi. Karena waktu jatuh tempo 6 bulan ke depan bakal terasa cepat sekali datangnya.

Sudah rumah ngontrak, status kepegawaiannya juga sebagai karyawan kontrak pula. Maunya sih disyukuri saja. Biarpun kontrak, ini lebih baik daripada nganggur. Pada awal-awal kerja pasti senang sekali. Kerja penuh semangat. Setelah waktu berjalan, masa kontrak tinggal 2-3 bulan lagi, kerja sudah nggak konsentrasi. Tiap hari hunting mencari majikan baru yang mau mempekerjakan dirinya. Syukur kalau langsung dapat begitu masa kontrak habis. Kalau tidak, akan jadi pengangguran lagi untuk sementara waktu.

Betapa tidak nyamannya menjadi orang kontrakan demikian. Maka wajar saja jika banyak orang pengen punya rumah sendiri. Maka wajar saja jika setiap karyawan pengen diangkat menjadi karyawan tetap dengan segala fasilitasnya.

Tapi bagaimanapun tak nyamannya, masih ada sisi positifnya. Cepat atau lambat cita-cita itu bakal terwujud. Paling tidak, selesai kontrakan rumah pertama pindah ke rumah kontrakan berikutnya. Selesai kontrak dari majikan pertama pindah ke majikan berikutnya. Dan suatu saat akan memiliki rumah sendiri dan menjadi karyawan tetap.

Maka jangan bersedih para kontraktor, karena ada yang lebih 'tak enak' daripada itu. Dan itu dialami oleh setiap orang. Ya, setiap kita adalah orang kontrakan. Meskipun sudah punya rumah sendiri. Meskipun sudah jadi karyawan tetap. Kita adalah orang kontrakan….. Kontrak hidup di dunia. Kita tinggal di dunia ini dibatasi waktu tertentu. Kalau orang kontrakan di atas, mereka tahu kapan masa kontraknya habis, maka tidak demikian dengan kontrak hidup kita. Tak ada yang tahu kapan masa kontrak kita habis.

Ya, tak ada yang tahu!

Meskipun demikian semua orang sadar, bahwa masa kontrak kita suatu saat pasti habis. Kalau orang kontrakan di atas, begitu masa kontrak rumahnya habis dia bisa pindah kontrak rumah lain. Dia sudah merencanakan dengan matang termasuk menabung uang sewa. Tapi tidak demikian dengan kontrak hidup kita. Sekali masa kontraknya habis, tak bisa diperpanjang. Merencanakan cicilan ‘tabungan’ pun tak bisa diatur dengan satuan waktu sedemikian sehingga saat habis kontrak terkumpul jumlah tertentu yang kita inginkan. Karena kita tak tahu kapan masa jatuh temponya.

Jadi bersyukurlah orang kontrakan, karena masih ada jenis kontrakan lain yang lebih tak menentu.

Maka pantaslah dalam ketidakmenentuan itu, Rasulullah bersabda bahwa orang yang cerdas adalah orang yang selalu mengingat kematiannya –yaitu habisnya masa kontrak hidupnya di dunia. Dengan selalu mengingat habisnya masa kontrak yang bisa datang tiba-tiba, maka si cerdas ini akan memanfaatkan waktunya seefisien dan seefektif mungkin untuk menuai berlimpah ruahnya rahmat, keberkahan dan keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala. Sehingga setelah masa kontraknya habis, dia akan diangkat menjadi ‘karyawan tetap’ di surga. Lengkap dengan rumah mewahnya.

Cikarang Baru, 12 November 2009

Renungan 44 tahun menjalani masa kontrakku di dunia. Entah berapa tahun lagi Allah memberi kesempatan aku tinggal di sini. Semoga Allah memberi kita semua kecerdasan.

Senin, 02 November 2009

Standing Party

Itu bahasa kerennya. Padahal intinya di pesta ini tak disediakan kursi. Lumayan penyelenggara tidak perlu menyewa ratusan kursi. Tapi sebaliknya disediakan banyak makanan. Biasanya ada sepuluhan booth makanan di dalam ruangan pesta itu.

Saya paling males kalau diundang dalam pesta yang gak pakai kursi ini.

Tadinya saya pikir, ini penyelenggara pelit amat ya gak nyewain kursi untuk tamu. Padahal kalau kita bertamu ke rumah teman biasanya yang pertama dipersilakan untuk kita adalah duduk.

“Silakan duduk, Bu/Pak/Mas/Mbak….” Ini adalah ungkapan yang pertama ketika kita menerima tamu. Setelah tamu duduk, kita berbasa-basi lalu suguhanpun datang.

Lha ini…. Tamu gak dipersilakan duduk. Kalau datang terlambatpun, banyak yang langsung njujug ke booth-booth makanan. Setelah perut kenyang sehabis makan berdiri sambil jalan-jalan serta ngobrol sana-sini, baru deh pamit ke yang punya hajat.

Yang menerima tamu gak sopan, tamunya juga gak sopan.

Demikianlah pikirku.

Lalu aku melihat sekeliling. Terlihat mewahnya ruangan dan dekorasi, serta booth makanan di seluruh sudut dan sisi ruangan. Ini pasti biayanya tidak sedikit. Jadi pasti si penyelenggara pesta bukan sedang pelit atau mengirit biaya sehingga tidak menyewa kursi untuk tamunya. Kemudian saya tahu, ini namanya pesta berdiri. It’s standing party.

Jadi pantes saja gak pake kursi.

Saya awalnya ikut-ikutan juga makan sambil berdiri. Sambil ngobrol pula dengan kenalan. Tapi baru lima menit rasanya makanan enak dipiring jadi gak enak. Saya pamit mencari kursi dimanapun berada.

Alhamdulillah, ternyata ada juga beberapa puluh kursi disediakan. Kebanyakan yang duduk adalah kakek nenek serta ibu-ibu yang menyuapi anaknya. Dan beberapa orang kampungan seperti saya. Maka sayapun duduk bersama orang-orang kampungan itu.

Alhamdulillah, makanan dipiring jadi enak lagi. Begitu habis saya bangkit mencari somay atau bakso atau kambing guling atau es puter atau soto ayam atau pempek atau tek wan atau lontong sate atau coto makassar. Wah, pokoknya kalau perut kuat, bisa jadi semua dicoba. Dan saya memang melihat banyak orang yang aktif terbang kesana kemari mencicipi semua makanan itu. Makanya tidak heran jika di beberapa tempat banyak makanan tersisa di piring yang sudah ditinggalkan pemiliknya. Ya, maklum memang banyak tamu yang cuma nyicipin, jadi porsinya kebanyakan.

Sambil menikmati makanan saya teringat pada nasihatku pada anak-anakku. Bahwa Rasulullah mengajarkan makan minum sambil duduk. Bukan berdiri. Ketika melihat anak-anak makan sambil berdiri, kami biasanya mengingatkan “Laa yasrobanna ahadukum qo-ima.” Demikian kurang lebih peringatan Rasulullah SAW. Karena sudah sering kami ucapkan, anak-anak langsung paham dan duduk meneruskan makannya.

Dulu waktu saya sekolah SD juga diajarkan demikian. Dan saya yakin tak kurang dari 80 persen dari tamu yang sedang makan sambil berdiri itu dulu juga diajarkan hal yang sama baik di rumah maupun di sekolah. Dan bahkan saat ini di rumah mereka juga sedang mengajarkan hal yang sama kepada anak-anaknya.

Apakah ajaran ini hanya untuk anak-anak? Lalu saat dewasa boleh ditinggalkan demi pergaulan? Saya bertanya dalam hati sambil menikmati makananku.

Entahlah….. Tapi iya, juga sih, ….. buktinya saya jadi gak gaul sama teman-teman saya gara-gara saya makan sambil duduk seperti ini.

…. Makananpun habis, saya bersyukur atas rizki makan minum yang diberikan Allah kepada saya, melalui teman yang mengundang saya di acara ini.

Alhamdulillahilladzi ath’amana wa saqaana wa ja’alana minal muslimin….

Cikarang Baru, 15 Dzulqa’dah 1430H/2 November 2009

Senin, 12 Oktober 2009

Yang Lapang, Yang Sempit

Hari Ahad, waktu shalat Isya’.

Saya kaget sekaligus bersyukur, masjid di kampungku hampir separuh kapasitasnya terisi jamaah shalat Isya’. Ada 5 shaf. Dari 11 shaf yang tersedia.

Setelah shalat, saya tunda berwirid. Saya sempatkan menghitung jumlah jamaah per shafnya. Sebelum sebagian mereka keburu pulang. Rata-rata 28 orang pershafnya. Mereka dewasa, remaja dan anak-anak. Jadi dikalikan 5 sama dengan 140 jiwa. Kalau total kapasitasnya 308 orang, berarti tingkat ‘hunian’ malam ini adalah 45%.

Kenapa ini terjadi?

Saya mulai menduga-duga. (karena memang belum pernah diadakan penelitian)

  1. Jamaah banyak karena ini hari libur. Jadi banyak warga yang punya waktu untuk shalat berjamaah di masjid.
  2. Jamaah banyak karena meskipun libur mereka tidak jalan-jalan ke mall. Mendingan istirahat di masjid sebagai persiapan besok Senin kerja lagi.
  3. Jamaah banyak karena acara TV hari Ahad memang tidak seru. Sinetron banyak yang libur tayang (yang ini adalah data lama, karena saya sudah luamaa banget putus hubungan dengan sinetron. Apakah sekarang sinetron masih libur Sabtu- Ahad, saya gak tahu).

Sudahlah, gak usah menduga-duga. Yang jelas, saya menyaksikan wajah-wajah ikhlas di barisan-barisan shaf shalat malam ini. Semoga Allah menerima amal ibadah kita.

Saya menepis dugaan-dugaan itu, dan saya ganti dengan rasa syukur yang dalam. Anehnya, beberapa saat kemudian, kembali saya terbenam dalam hitung-hitungan di kepala saya.

Kalau dari seluruh jamaah itu ternyata setiap ayah mengajak satu orang anak laki-lakinya, berarti jamaah shalat itu berasal dari 70 rumah.

Tuinggggg!

Rasa kecewa muncul lagi….

Di lingkunganku ada sekitar 500 rumah yang berpenghuni. Plus minus 90%-nya muslim. Jadi yang shalat ke masjid sama dengan 70 per 450-nya atau kurang lebih 15% saja.

Wow, jadi, baru 15% yang shalat di masjid kami yang megah dan termasuk berukuran besar ini.

Saya menaksir biaya pembangunan masjid ini sudah mencapai 1 M. Tapi sayang pemanfaatannya oleh warga belum maksimal. Padahal warga yang memanfaatkannya tidak dipungut biaya sama sekali. Dengan fasilitas air wudhu, toilet, listrik, sound system yang bagus, suara muadzin dan jasa imam yang bacaannya indah dan tartil. Semua gratis.

Belum lagi kesempatan silaturahim dengan sesama warga. Dan yang terpenting, warga yang shalat di sini bisa mengunduh kebaikan melebihi 27 kali lipat dibandingkan shalat sendiri di rumah.

Belum lagi dengan dibangunnya masjid ini, warga yang datang ke masjid, setiap langkahnya bernilai kebaikan dan menggugurkan dosa-dosanya.

Ini fasilitas yang fantastics.

Tapi saat ini hanya 15% yang memanfaatkannya. Itupun kalau hari libur saja.

Tiunggggg!

Alhamdulillah…. Saya menepis kekecewaan itu dan menggantinya dengan rasa syukur.

Kalau empat puluh persen saja warga hadir di masjid ini setiap shalat, betapa sempitnya masjid kami.

Jadi biarlah kini sementara mesjid kami serasa lapang dalam kesempitannya.

Nanti toh, entah kapan, seiring dengan kesadaran dan kemajuan pola fikir, masjid kami akan menjadi terasa sempit seperti saat-saat Ramadhan kemarin.

Sempit tapi menyenangkan,….

Karena kami sekampung semua berjamaah, tunduk sujud kepada-Nya.

Cikarang Baru, 22 Syawal 1430H/12 Oktober 2009

Selasa, 29 September 2009

Mati Duluan

Setelah azan maghrib, saya dan dua anak laki-laki saya Abyan (13) dan Adnan (5) pergi ke masjid dekat rumah. Dalam perjalanan seperti biasanya Adnan ngajak ngobrol.

“Ayah, berapa umur Ayah?”

“Empat puluh tiga!” jawabku cepat… yang ternyata salah.

“Empat puluh empat, Yah…” Abyan cepat mengkoreksi.

“O ya, sebentar lagi pas empat puluh empat.” Kataku.

“Kalau Ibu?” Tanya Adnan selanjutnya.

“Empat puluh satu!” jawabku sambil mempercepat langkahku, karena sebentar lagi pasti iqamah akan dikumandangkan. Abyan dan Adnan ikutan mempercepat langkahnya.

“Berarti Ayah duluan mati!” seru Adnan santai…. Tapi tetap mengagetkanku.

“Hhh… Apa?” Tanya Abyan kepada Adnan.

“Berarti Ayah duluan mati.” Ulangnya ringan.

Aku tetap mempercepat langkahku, sambil tersenyum, agak kecut. Siapa orangnya yang gak takut mati.

“Kalau Mas Abyan dan Mbak Ahsana siapa yang duluan mati?” tanyaku.

“Ya, mBak Ahsana.. kan dia lebih tua.”

“Kalau Adnan dan Mbah Athaya?”

“Ya, duluan Mbak Athaya.”

Aku tersenyum kecut dengan logika Adnan. Yang lebih tua bakal mati duluan.

“Kalau semua mati duluan, nanti Adnan kalau mati siapa yang nguburin?” godaku.

“Ya, orang-orang yang lainlah…” jawabnya nyantai.

Aku tersenyum lagi, ….sebenarnya sih menahan haru. Ketidakmengertiannya membuat dia gak sedih kalau ditinggal mati ayah ibu dan saudara-saudaranya.

“Adnan, pernah denger anak muda mati duluan?” tanyaku.

“Pernah, ada juga bayi yang mati.” Jawabnya santai, tanpa beban bahwa ini antitesis dari kesimpulannya terdahulu.

“Itu berarti umur manusia itu hanya Allah yang tahu.” Aku menjelaskan.

Ada yang mati saat umurnya sudah tua, ada pula yang masih muda tapi duluan mati.” Aku melanjutkan.

Adnan tidak menjawab…. kaki-kaki kami telah menginjakkan teras masjid. Obrolan singkat ini segera terhenti, karena sholat segera dimulai.

Setelah shalat, aku cuma bisa merenungi dialog sederhana dengan si bungsu ini. Meski tidak seratus persen benar, saya bisa menerima logika Adnan. Minimal pembenarannya adalah kalau usia masih muda ada 2 kemungkinan: akan menikmati usia tua atau mati muda. Tapi bagi orang yang sudah berusia tua kemungkinannya tinggal satu yaitu mati. Karena tak mungkin ia bakal kembali menikmati masa-masa mudanya.

Rabbi…. beri kami anak-anak yang shaleh.

Rabbi ….beri kami khusnul khatimah.

Cikarang Baru, 8 Syawal 1430H/27 September 2009

Jumat, 25 September 2009

Indahnya Berbagi

Sepuluh hari terakhir Ramadhan memang saya membatasi diri untuk ngeblog.... takut waktunya bablas surfing kemana-mana. Maka saya borong upload tulisan yang sudah terekam di kepala. Ini diantaranya:

Setiap hari masjid al Muhajirin selalu mangadakan buka bersama. Acara berlangsung lancar karena penyedia takjil sudah diatur sedemikian rupa. Bergilir dari satu gang ke gang lain. Alhamdulillah setiap hari makanan yang tersedia tidak cuma makanan kecil, tapi juga makanan besar. Kalau cuma ada makanan kecil, jumlahnya sangat lebih dari cukup.

Buka puasa ini disediakan selain untuk para musafir dan pedagang keliling, juga diharapkan melalui forum ini keakraban bertetangga terjalin lebih baik. Agar masjid tak kotor, acara ini dilaksanakan di balai RW yang terletak di samping masjid. Setiap hari balai RW ini dipenuhi oleh Bapak-bapak yang ikut berbuka. Selain itu tak kalah serunya dengan banyak anak-anak dan remaja yang turut serta menyantap menu berbuka puasa ini. Dan tak ketinggalan ibu-ibu penyedia takjil menyiapkan dan melayani mereka.

Seperempat jam sebelum waktu maghrib, ada Ustadz yang menyampaikan tausiah. Sementara tausiyah berlangsung, makanan berbuka bergeser dibagikan. Ada beberapa piring kue, ada es buah, teh hangat, kolak, agar-agar, kurma, air putih. Kadang-kadang ada bakso dan nasi kotak.

Menyambut makanan ini yang paling meriah tentu anak-anak dan para remaja. Setelah sehari berpuasa, rasanya semua makanan yang ada harus dijajal satu per satu. Maka tak heran jika di depan seorang anak ada tiga macam minuman, es buah, kolak, dan the. Juga beberapa macam makanan.

Sementara Bapak-bapak biasanya khusyuk mendengarkan tausiyah.

Suatu hari, selain makanan kecil ada kiriman nasi bungkus dari salah satu penyedia takjil. Dan beberapa saat kemudian dari [enuedia takjil lainnya ada kiriman nasi kotak. Saat pembagian menjelang berbuka, saya menyaksikan ada empat anak yang menerima kedua jenis nasi tersebut. Keduanya diletakkan di sampingnya. Rasa malunya membuat mereka tak terang-terangan menempatkannya di hadapannya. Sekali lagi… puasa seharian sering menyebabkan anak-anak bernafsu untuk melahap semuanya.

Saya yang berada di antara anak-anak itu tak tega melihat pemandangan yang tak elok ini.

“Anak-anak….” kata saya. “Kalau kalian punya dua porsi nasi, siap-siap ya untuk berbagi.” Lanjut saya.

“Sebentar lagi akan datang beberapa orang yang tentu belum kebagian apa-apa. Nah, kalian yang punya dua, saatnya belajar berbagi. Silakan dibagikan kepada orang ini.”

Empat anak yang tadi menyimpan dua porsi nasi saling sikut. .... akhirnya mereka tak malu-malu lagi mengeluarkan simpanan makanannya dan menempatkannya di depannya masing-masing.

Benar saja, tak lama kemudian datang dua orang Bapak. Saya pun memberi aba-aba: saatnya untuk berbagi. Maka seorang anak dengan sigap mengantarkan sebungkus nasinya dan nasi temannya kepada kedua orang yang baru datang itu.

Saya sangat bahagia melihatnya. Mereka tampak ikhlas melaksanakan nasihat saya. Selama ini mereka hanya tak mengerti saja mana yang elok mana yang tidak. Maka ketika diberi penjelasan mereka dengan mudah dan sigap melaksanakannya.

Beberapa saat kemudian dua orang datang lagi. Dua anak yang berkelebihan nasi bungkuspun menyambutnya dengan uluran nasi.

Saya tersenyum puas, keempat anak itupun juga tampak tanpa beban lagi…. Memang indah kalau kita mau berbagi.

Terngiang sabda Rasulullah, "bukan dari golongan kami orang yang tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan." Anak-anak telah mengamalkannya. Semoga Allah membimbing mereka sampai dewasa kelak.

Cikarang Baru, 1 Syawal 1430H/20 September 20, 2009

Segelas Es Kelapa Muda

Sedekah Berbuka (2)

Sebuah catatan Ramadhan yang tercecer

“Assalamu’alaikum….!” Terdengar suara teriakan anak kecil di depan pagar. Pak Fulan yang berada di ruang tamu langsung bangkit menuju pagar.

“Silakan, Pak….” Kata si anak kecil itu. Tanpa menunggu pagar dibuka, tangannya langsung molos melalui celah-celah pagar. Pak Fulan refleks menerimanya, juga tanpa basa-basi membuka pagar misalnya. Bisa kejepit tangan si anak kecil itu.

Beberapa saat kemudian segelas es kelapa muda berpindah tangan dari tangan si kecil ke tangannya.

Beberapa menit kemudian, terdengar adzan maghrib dari TV. Setelah membaca basmalah, Pak Fulan menyeruput es kelapa muda yang masih belum lepas dari tangannya itu. Dia merasakan benar nikmatnya berbuka puasa hari ini. Segelas es kelapa muda benar-benar membuatnya ‘hidup’ kebali. Bagai tanaman kering mendapat siraman air. Nilainya mungkin cuma dua ribu rupiah. Tapi kali ini Pak Fulan menganggap tak ternilai harganya. Karena dia hadir pada saat sangat dibutuhkan.

Pak Fulan bukanlah seorang miskin. Dia seorang pensiunan PNS yang dari penampilannya, pangkatnya terakhir cukup lumayan. Dia memiliki rumah tipe 45 yang sudah direnovasi cukup bagus. Dia punya motor keluaran baru. Tak ada tanda-tanda berkekurangan.

Sore itu dia sendirian di rumah menunggu adzan maghrib. Tak ada persiapan apa-apa untuk berbuka puasa. Istrinya sedang sibuk menyiapkan takjil di masjid dekat rumah. Di masjid ini setiap hari ada acara berbuka bersama. Beberapa warga mendapatkan giliran menyediakan makanan takjilnya. Rencananya Bu Fulanah tidak lama di masjid. Hanya menyerahkan sedekah berbuka bersama. Lalu pulang mengurus suaminya.

Ternyata di masjid kekurangan orang untuk melayani berbuka warga yang sudah berkumpul di sana. Bu Fulanah yang ringan tangan langsung turun membantu. Lupa bahwa di rumah belum disiapkan takjil untuk suaminya.

Maka kedatangan anak kecil membawa segelas es kelapa muda, bagai air hujan yang turun di musim kemarau yang panjang. Kesegaran bakal didapatkannya begitu azan maghrib tiba nanti. Segelas es kelapa muda, tak peduli hanya dua ribu rupiah, seperti tak ternilai harganya jika datang pada saat yang tepat. Jika diterima oleh orang yang benar-benar membutuhkan.

Maka terngiang sabda Rasulullah tentang anjuran beliau salallahu ‘alaihi wasallam

Agar kita berlomba-lomba menyediakan makanan berbuka bagi mukmin yang berpuasa. Disisi Allah pahalanya sama dengan pahala yang diterima orang yang berpuasa yang diberi makanan berbuka itu tanpa mengurangi hak pahala orang tersebut sedikitpun.

Ini amalan mulia yang terbuka bagi siapa saja. Tak perlu menunggu kaya untuk menjamu makanan berbuka. Karena menunya tak harus mahal. ……… Si kecil –mungkin atas perintah orang tuanya, nampaknya sedang berlatih memberi sedekah berbuka….walau dengan segelas es kelapa muda.

……… Bahkan sabda sang Rasul SAW ”Walaupun dengan sebiji kurma, walaupun dengan seteguk air.”

Sebuah kemudahan yang sayang jika ditinggalkan.

Cikarang Baru, 18 Ramadhan 1430H/8 September 2009

4-4-3 atau 2-2-2-2-3

Bagi penggemar sepak bola pasti tahu dengan formasi di atas. Bahwa itu BUKAN formasi penempatan pemain dalam pertandingan bola! Mana ada kipper jumlahnya 3. (Sssst…. Karena saya bukan penggemar bola, saya tidak tahu jangan-jangan strategi di atas memang ada, ya….???).

Tapi bagi penggemar shalat tarawih di bulan ramadhan, pasti kenal dengan komposisi angka ini. Ya… ini memang komposisi jumlah rakaat tarawih untuk genap menjadi 11 rakaat. Yang pertama 4-4-3. Artinya 4 rakaat satu salam, dilakukan dua kali lalu ditutup dengan witir 3 rakaat. Lalu yang kedua 2-2-2-2-3. Bermakna 2 rakaat satu salam sebanyak empat kali lalu ditambah witir 3 rakaat. Dua-duanya totalnya menjadi 11 rakaat.

Di masjid dekat rumah shalat tarawih dikerjakan dengan cara 2-2-2-2-3. Saya dan anak-anak sudah hapal betul dengan cara ini. Cara ini lebih familiar dilakukan di sejumlah masjid. Dengan dua-dua jamaah tidak terlalu capek. Karena setiap dua rakaat kita bisa jeda. Anak saya yang berumur lima tahun pun, bisa belajar berhitung dengan mudah. Dia cepat tahu, kurang berapa rakaat lagi shalat tarawih selesai karena tinggal mengurangi dua-dua.

Entah tahu dari mana tiba-tiba di sela-sela jeda shalat tarawih Adnan (5) bertanya.

“Yah, boleh nggak kita shalat empat-empat.”

Saya tak perlu melacaknya darimana dia dapat ide ini, mendingan saya jawab saja:

“Boleh.” Karena memang nyatanya Rasulullah juga pernah melakukan cara ini.

“Jadi empat-empat-tiga.” Saya menjelaskan lebih lanjut.

Adnan mencoba berhitung dengan jari-jarinya. Empat ditambah empat sama dengan delapan lalu ditambah witir tiga rakaat. Semuanya jadi sebelas.

“Yah, mau dong kita shalat 4-4?” pintanya.

“Emang kenapa?” Tanya saya.

“Biar lebih cepat selesai.” alasannya. Mungkin karena salamnya cuma tiga kali, jadi kesannya lebih cepat selesai.

“Ya… lain kali kita shalat di masjid al Islah.” Saya menjanjikan. Masjid al Islah di RW tetangga memang melaksanakan tarawih dengan 4-4-3.

Sejak itu setiap malam ketika berangkat tarawih, Adnan selalu mengingatkan kapan kami tarawih 4-4-3. Dan saya selalu menjanjikannya. Tapi sayang saya selalu melupakannya karena kesibukan saya. Sampai ramadhan pun berakhir kemarin.

Saya menyesal sekali. Sebenarnya ini bakal menjadi pembelajaran yang sangat berarti bagi Adnan. Bahwa ada keberagaman dalam melaksanakan ibadah tarawih. Dan semuanya pernah dilakukan oleh Rasulullah. Kalau Rasulullah pernah melakukan demikian, tentu tak ada masalah para pengikutnya juga melaksanakan dengan beberapa cara itu.

Mengingat keinginan Adnan ini, saya jadi teringat heboh beberapa tahun lalu di sebuah masjid lainnya di perumahan saya tinggal. Jamaah marah karena Imamnya mengimami shalat tarawih dengan 4-4-3. Padahal selama ini telah disepakati untuk tarawih dengan 2-2-2-2-3. Gara-gara kemarahan itu beberapa orang jamaah yang setuju dengan 4-4-3, termasuk sang Imam itu kini tak pernah lagi menginjakkan kakinya di masjid itu.

Sekali lagi saya menyesal Ramadhan tahun ini tak sempat mengajak Adnan shalat tarawih di masjid 4-4-3. Padahal dia sangat menginginkannya. Kalau saja dia berkesempatan, tentu ini menjadi investasi sikap toleran dalam jiwanya.

Ya Allah, berilah saya, dan juga Adnan, umur panjang sampai Ramadhan tahun depan. Lalu kami jalan-jalan ke masjid lain untuk menikmati ‘strategy’ 4-4-3.

Cikarang Baru, 1 Syawal 1430H/20 September 2009

Jumat, 04 September 2009

Sedekah Berbuka (1)

Rasulullah mengajarkan kalau kita berpuasa lalu memberi buka puasa kepada orang mukmin yang berpuasa, kita akan mendapatkan pahala sebesar pahala orang tersebut tanpa mengurangi hak dia.

Ini tampaknya menginspirasi tetangga di depan rumah saya. Bagi saya ia adalah juara satu tercepat dalam memberi takjil bagi tetangganya. Sebenarnya bukan cuma di bulan Ramadhan, bulan-bulan lain Ibu Fulanah ini juga rajin bagi-bagi makanan meskipun hanya semangkok sayur asem.

Ya…. Dia yang tercepat!

Karena dia sudah berlatih pada bulan-bulan sebelumnya!

Pada hari pertama sekitar jam empatan sudah ada semangkok bubur ketan hitam dikirim ke rumah. Alhamdulillah…. Semoga Allah memberi ganjaran yang berlipat ganda. Semoga puasa saya diterima Allah, mendapat pahala dan dia juga mendapatkannya sebesar itu tanpa mengurangi pahala saya. Seperti janji Rasulullah. Subhanallah.

Hari kedua….. tetangga yang lain lagi mengirim segelas es buah. Sekitar jam limaan.

Nikmat rasanya, saat dibutuhkan tiba-tiba mendapatkannya. Anak-anak saya, Athaya dan Adnan, yang sedang belajar puasa menampakkan benar kegembiraan itu, meskipun saat berbuka masih satu jam lagi. Apalagi awal-awal puasa ini Ibunya memang sedang tidak di rumah karena ikut diklat guru di luar kota.

Oh… indahnya ajaran Rasulullah. Beri-beri-beri. Tak usah malu berapapun. Bagi-bagi-bagi. Secepat angin yang bertiup.

Ketika Rasulullah menyampaikan ajaran ini, seorang sahabat berkata bahwa tidak semua sahabat berkemampuan memberi sedekah berbuka. Maka Rasulullah memberikan jawaban yang menggembirakan semua orang “walaupun hanya dengan sebiji kurma. Walaupun hanya dengan seteguk air.”

Hari berikutnya…. Ada semangkuk bakso….

Saya menerimanya dengan doa tulus, agar dia mendapatkan pahala yang berlipat ganda. Karena sang tetangga melaksanakannya demi patuhnya kepada Rasulullah SAW.

“Ayah, kapan kita bagi-bagi buka puasa?” tiba-tiba anak saya Athaya (9 th) mengingatkan. Sebelum Ramadhan memang dia melihat saya mengetik rencana kerja selama Ramadhan. Diantaranya ada poin “sedekah berbuka”.

“Ya, ayah sedang menunggu kurmanya. Sudah dipesan ke teman Ayah. Nanti kalau ada, Ayah ditelpon.”

Sampai dua hari telpon yang saya tunggu belum juga ada. Athaya tampaknya sudah ngebet. Katanya, “gimana dong, Ayah gak melaksanakan programnya sendiri.”

“Oke, besok kita siapkan.” Jawab saya semangat, karena disemangati Athaya. Kebetulan besok juga ada jadwal kirim takjil ke masjid.


Maka sore itu saya membeli 6 buah kelapa muda, beli gelas plastik, tutupnya dan sendok plastik. Yang praktis-praktis saja. Kelapanya juga sudah dipecah oleh penjualnya. Sudah berpindah ke kantung plastik. Jadi sampai di rumah tinggal nuang-nuangin ke gelas plastik.

Akhirnya jadilah 20 gelas es kelapa muda. Senang sekali akhirnya bisa mengantar sedekah berbuka ke masjid. Anak-anak juga tampak sangat menikmati kegiatan ini.

Cikarang Baru, Ramadhan 1430H.

Terima kasih kepada para tetangga dan anak-anakku yang telah mengingatkan amalan mulia ini.

Matematika Tarawih

Setelah mengikuti tarawih empat belas kali, ada perkembangan baru Adnan (5 th) dalam bermatematika. Jika saya tidak dapat tugas jadi imam sholat, Adnan shalat di sebelah saya. Biasanya sejak selesai 2 rakaat pertama dia selalu bertanya, “Ayah, berapa rakaat lagi.” Dan saya menjawab dengan menunjukkan jari-jari saya sebanyak rakaat yang tersisa. Demikian seterusnya sampai shalat witir selesai.

Tadi malam demikian pula.
Dia bertanya hal yang sama sejak salam 2 rakaat pertama selesai. Kali ini saya tidak menjawabnya. Malah saya balik bertanya, “Tinggal berapa, ayo…?”

Mata Adnan bergerak-gerak, seakan dia melihat sesuatu di kepalanya. Jari tangannya tidak dimainkan untuk menghitung sesuatu.

“Berapa?” Tanya saya lagi.
“Em… sembilan.” jawabnya. Saya menyorongkan jempol saya, tanda saya senang karena jawabannya benar. Dan segara saya dan Adnan berdiri karena Imam segera memulai 2 rakaat kedua.

Begitu selesai salam 2 rakaat kedua kini saya yang bertanya.
“Adnan, berapa lagi?”
Sejenak dia diam…. Lalu jawabnya,
“Tujuh.” Saya melemparkan senyuman senang, sambil berkata “Yes!”
“Gimana caranya?”
“Ya, tinggal dikurangi aja dua-dua.”
Saya elus kepalanya, tanpa bisa menyembunyikan kegembiraan saya. Dia bisa menyimpulkan sendiri operasi hitungan tanpa saya sengaja mengajari. Bayangkan saya punya murid di bimbel saya yang jauh lebih tinggi kelasnya. Sampai saat ini masih kesulitan menyimpulkan menggunakan operasi hitungan apa dalam menghadapi soal cerita. Kapan harus menjumlah, mengurangi. Kapan harus kali atau bagi.

Lalu Adnan saya tanya lagi,
“Habis tujuh berapa lagi?” maksud saya setelah 2 rakaat lagi dilaksanakan, shalat tarawih tinggal berapa lagi.
“Lima.” jawabnya lebih cepat.
“Lalu?” Tanya saya.
“Tiga.” Jawabnya lebih cepat lagi.
Lalu?
“Satu” jawabnya seperti tanpa mikir lagi
“Lalu”
“Nol!”

Ya, di masjid kami memang witir yang tiga rakaat dilaksanakan dua kali salam. Jadi 2 + 1. Saya telah mendapatkan hadistnya, ternyata ini boleh dilakukan.

Dan alhamdulillah, dengan rutin shalat tarawih Adnan bisa enjoy pula belajar matematika.

Cikarang Baru, 14 Ramadhan 1430H/4 September 2009
Choirul Asyhar

Kamis, 03 September 2009

Semangat…..


Hari itu saya mendapat jadwal mengimami shalat tarawih dan kultum di sebuah mushollah yang saya belum tahu lokasinya. Dalam perjalanan saya menelepon kontak personnya. Telpon gak diangkat. Dua kali saya turun bertanya kepada orang yang lewat, menanyakan lokasi musholla. Tidak ada jawaban pasti. Sayup-sayup iqomat mulai dikumandangkan musholla dan masjid terdekat.

Akhirnya saya putuskan berbelok ke sebuah masjid terdekat yang saya tahu. Akhirnya saya masbuk sholat Isya di situ. Lalu dilanjutkan shalat tarawih. Ternyata di masjid ini tidak ada kultum. Kuliah tujuh menit yang biasa disampaikan sebelum shalat tarawih. Yang realisasinya bisa jadi kuliah terserah antum: bisa tujuh menit, sepuluh menit, seperempat jam bahkan dua puluh menit. Meskipun demikian, bagi yang haus ilmu tak apalah waktunya diperpanjang demikian.

Tapi di sini tak ada kultum.
Sebagai makmum tentu saya ikut aja. Anak saya Adnan, duduk di sebelah saya. Tarawihpun dimulai. Dua rakaat pertama diselesaikan dengan membuat saya ngos-ngosan. Betapa tidak…. Imam membaca alfatihah, surat-surat pendek dengan kecepatan tinggi. Lalu doa-doa dalam rukuk, i’tidal, sujud, duduk dan seterusnya seperti saling mengejar antara Imam dan makmum. Saat Imam bertakbir untuk sujud, makmumpun mengikuti. Begitu makmum menyentuhkan dahinya di sajadah, Imam sudah bangkit duduk. Begitu makmum duduk, Imam sudah sujud lagi. Makmum mengejar sujud, Imam bagai meloncat tegak berdiri di rakaat berikutnya.

Baru pada rakaat kedua saya bisa agak bernafas lega. Meskipun tak bisa menikmati indahnya bacaan Al fatihah dan surat-surat pendek. Sudah suratnya pendek, dibaca cepat pula. Maka ketika Imam rukuk, dimulailah kembali kejar-mengejar gerakan makmum dan imam. Sampai bacaan tasyahudpun saya tak pernah bisa menyelesaikannya. Ketika saya baru membaca syahadat, Imam sudah mengucapkan salam.

Saya merasakan bahwa sang Imam bagai sopir angkot yang mengejar setoran. Benar belaka dugaan saya, ketika selesai rakaat ke delapan, ternyata ‘bilal’ memberikan lagi aba-aba untuk melanjutkan dua rakaat berikutnya. Bukan shalat witir. Ada sekitar separuh isi masjid yang berdiri pulang. Maka sayapun beranjak ke luar sambil menarik tangan Adnan.

“Ada apa, Ayah?” tanyanya heran. Dia heran saya keluar, dia juga heran kenapa sudah delapan rakaat kok belum shalat witir juga.

“Kok belum shalat witir?” tanyanya.
“Iya, disini shalatnya 23 rakaat.” Lalu saya menjelaskan bahwa shalat tarawih ada yang 11 rakaat ada pula yang 23 rakaat.
“Who, banyak banget.” Komentarnya.
“Terus kenapa Ayah keluar?”
“Ayah, capek mengejar Imam. Bacanya cepet banget…Ayah gak bisa ngejar ” jawab saya.
“Wah, kalau Adnan malah semangat!” jawabnya tak saya duga.
“Adnan kalau shalat sendirian ‘kan sudah biasa shalat cepat, Yah…” katanya ringan.
“Jadi, Adnan semangat kalau shalatnya cepat…” lanjutnya. “Tapi Adnan gak mau kalau 23 rakaat.”

Saya jelaskan tak apa shalat 23 rakaat, karena ini juga sunnah para sahabat. Tapi tentu tetap harus menjaga kualitas. Bacaan tartil dan syahdu, dengan gerakan yang wajar. Kalau toh ada sebagian yang belum paham maknanya, kita bisa menikmati indahnya lantunan ayat-ayat Al Quran. Juga bisa khusyu membaca doa-doa.

Shalat itu kan curhat kepada Allah, kenapa harus buru-buru. Buru-buru berarti segera berpisah dengan Allah. Jadi mesti berlama-lama. Enak, toh...?

Cikarang Baru, 3 Ramadhan 1430H

Minggu, 23 Agustus 2009

Wah, kok banyak …………?

Sabtu, tanggal 22 Agustus 2009. Dhuhur. Saya seperti biasanya mengajak anak terkecil saya, Adnan (5), ke masjid untuk shalat berjamaah.

“Wah, kok banyak orang…?” itu kata-kata yang terlontar spontan dari mulutnya. Sesaat setelah kakinya melewati pintu masjid. Rupanya dia heran kenapa dhuhur ini jamaah sholat dhuhur sampai lebih dari 3 shaf. Berarti lebih dari 75 orang. Biasanya cuma satu shaf. Baik hari libur maupun hari kerja.

“Iya, Awal Ramadhan banyak yang shalat di masjid.” Jawab saya spontan dan tak sempat menutup-nutupi kenyataan ini. Padahal bisa saja saya jawab “Iya, kan hari libur… mungkin banyak yang tidak bepergian jadi sempat sholat dhuhur berjamaah.”. Entah kenapa justru jawaban jujur itu yang saya berikan.

Oke, apapun itu. Ini pelajaran berharga bagi kita orang dewasa. Betapa anak sekecil Adnan ternyata memperhatikan betul keadaan lingkungannya. Dia memperhatikan betul kondisi masjid di siang hari di hari-hari biasa. Maka sekarang ini adalah luar biasa!
Biasanya dia selalu dapat shaf depan meskipun dating terlambat. Karena shafnya cuma satu! Kini dia ada di paling belakang.

Dan ‘konyol’nya kok saya terus terang saja memberikan jawaban. Karena awal Ramadhan banyak orang merindukan masjid. Mereka masih dipenuhi dengan euphoria suasana ruhiyah yang tinggi. Sehingga kaki ringan saja melangkah ke masjid, meskipun sebenarnya tidur di rumah lebih enak. Perut lapar, hawa panas, emang enakan tidur atau shalat di kamar yang ber AC. Tapi berkah Allah di bulan Ramadhan inilah yang menyebabkan mereka ringan-ringan saja keluar rumah dan shalat berjamaah di masjid. Suatu hal yang jarang dilakukan kebanyakan orang.

Melihat suasana ini, biasanya hati saya terharu….. Oh, indahnya masjid kita jika terus dihiasi oleh kedatangan warga sekitar masjid setiap adzan dikumandangkan. Mesjid indah tidak hanya oleh ornamen keramik, kaligrafi, karpet indah dan mahal, ventilasi berprofil kaligrafi, podium khotib yang artistic, kaca lukis, atau suara imam plus sound system yang menghasilkan suara teduh menyentuh kalbu. Tapi juga oleh banyaknya trafik jamaah datang pergi setiap waktu shalat.

Shaf-shaf shalat yang tersusun penuh dan lurus. Shaf-shaf yang penuh dari barisan terdepan sampai terbelakang. Gemuruh takbiratul ikhram yang mengikuti takbir sang imam. Suara “Amiin” yang indah, merdu dan bergemuruh memenuhi ruang-ruang kosong masjid. Juga ruang-ruang kosong kalbu. Seirama dengan suara “Wa ladhldhoooollin” yang sebelumnya dilantunkan sang Imam. Lalu gerakan serentak para makmum mengikuti gerakan imam. Rukuk, I’tidal. Sujud –duduk-sujud. Lalu berdiri lagi. Serentak bergerak memenuhi aba-aba takbir dari Sang Imam. Kemudian terakhir serentak pula salam ke kanan dan ke kiri.

Inilah keindahan masjid yang sesungguhnya yang saya bayangkan. Bagaimana indahnya ketika setiap pengunjung masjid saling bersalaman saat dating dan pergi. Menanyakan kabar dan kesehatan. Saling mengelus kepala anak-anak kita. Wah, benar-benar silaturahim yang menyemangati dan memanjangkan umur.

“Ayah… kok masih banyak yang sholat?” tanya Adnan tadi malam saat shalat maghrib pada hari yang sama, 22 Agustus 2009. Aku terhenyak dengan pertanyaan spontannya. Rupanya dia menggarisbawahi benar jawaban saya saat dhuhur itu. Dalam jawaban saya terkesan jelas banyaknya jamaah shalat di masjid hanya di awal-awal saja. Dan masalahnya, bagi Adnan dari dhuhur sampai maghrib adalah waktu yang lama. Karena selama menunggu maghrib itu dia beberapa kali merengek lapar dan haus menahan puasanya.

Mungkin logika Adnan, setelah sekian lama berlalu, seharusnya jumlah warga yang sholat berjamaah di masjid kembali normal lagi. Tak sebanyak ini.

Cikarang Baru, 23 Agustus 2009/2 Ramadhan 1430H

Choirul Asyhar
Berharap keindahan masjid terjaga sepanjang waktu.

Senin, 17 Agustus 2009

Speak Out!

Banyak yang pengen belajar bahasa Inggris. Tapi begitu berbicara, muncul rasa takut salah. Padahal dari salah muncul ilmu dan kemahiran. Ternyata berbicara bahasa Inggris tidak ribet amat. Lihat dan tiru video ini. Enak dan mudah, kok.

Sabtu, 15 Agustus 2009

Melukis Mimpi itu Gratis

Alhamdulillah, aku bersyukur atas kehidupanku akhir-akhir ini. Teman-teman disekitar yang sangat mendukung. Saling mendukung. Ada ilmu baru, ada ilmu lama yang lama kutinggalkan, padahal dulu terbukti efektif!

Kali ini aku diajari lagi untuk bermimpi. Mimpi di siang bolong. Karena memang pertemuannya tadi siang. Mimpi yang direncanakan. Bukan yang selewat saat kita tidur. Bukan mimpi yang tanpa kemauan kita. Ya.... bermimpilah. Dan tuliskan mimpimu. Nanti suatu saat terwujud, Anda akan terkejut, surprised dan bersujud syukur!

Yang menarik karena perencanaan mimpi ini ditulis lalu disampaikan di muka umum, maka semua teman-teman baik kita akan mensupport dan terus mengingatkan agar kaki terus melangkah mengejar mimpi itu. Intinya harus ada kemajuan menuju realisasi mimpi-mimpi itu. Let the dream becomes true!

Pak Ruwi, pengelola JM Music School, sharing tentang mimpinya memiliki brand sendiri untuk sekolah musiknya. Sebelumnya beliau pinjam nama drummer Rollies, Jimmie Manoppo. Kini semua mimpinya termujud.... lahirlah JM jilid kedua yang kepanjangan dari Jaguar Music.... lengkap dengan studio, toko alat music dan lain-lain....

Saya jadi teringat mimpi saya yang kemudian terwujud meskipun dengan status pinjaman tanpa syarat. Yaitu mimpi punya ruko sendiri. Hanya dalam hitungan bulan sejak saya menuliskannya, seorang kakak tiba-tiba "membelikannya" untuk saya pakai gratis. Yang kini sudah jadi toko MusliMart

Lalu mimpi saya naik haji. Tahun 2000 saya mimpi pergi haji di tahun 2010. Maka saya datangi sebuah Bank Syariah di Jakarta, saya sampaikan niat saya, maka saya harus menabung sekitar Rp. 300-an ribu perbulan agar mimpi itu terwujud. Waktu berjalan, istripun pengen bermimpi sama. Diapun mendatangi bank yang sama di Bekasi... Dan amazing, alhamdulillah, atas perkenan Allah, kami berdua pergi haji tahun 2005! Lima tahun lebih cepat dari target....

Kini, saat lupa tentang cara meraih mimpi-mimpi, di forum MMC3, di restoran Samikuring, Pak Ruwi mengingatkan kembali.... Ya, kenapa tidak! Kan gratis! Langsung saya tuliskan mimpiku: memiliki lembaga Kursus Bahasa Inggris dan Matematika sendiri, lengkap dengan gedungnya yang representatif. Bukan seperti rumah tinggal kayak sekarang! Nama sudah saya siapkan, logo sudah ada. EMC = English + Mathematics Club. Tinggal realisasinya. Saya patok 31 Desember 2009! Mohon doa dan dukungan teman-teman semua.

Bismillah....!

Cikarang Baru, 15 Agustus 2009

Sabtu, 08 Agustus 2009

Apa Allah Marah?

Pagi ini ketika nyebokin Adnan, 5 th, tiba-tiba dia bertanya:

Adnan : Ayah, Adnan sakit apa karena Allah marah?

Adnan memang sedang sakit sejak kemarin. Badannya panas. Kemarin sudah berobat, alhamdulillah cuma radang tenggorokan. Penyakit langganan anak-anak.

Aku : Emang, kenapa Allah marah sama Adnan.
Adnan : Kan, Adnan pernah bohong sama Ayah?
Aku : Kapan….?
Adnan : Dulu, waktu Adnan suka minta uang sama Abel.

Abel adalah nama teman TK-nya. Dulu dia suka minta uang sama Abel, tapi kalau saya tanya katanya gak minta kok, Abel yang maksa ngasih. Waktu itu, aku percaya.

Aku memang gak pernah kasih uang jajan. Karena khawatir anak-anak jajannya kotor atau gak sehat. Jadi setiap hari Adnan dibekali makanan dari rumah.

Suatu ketika, aku bilang sama Adnan, mulai besok Adnan harus menolak pemberian Abel. Dan dia hari itu nurut, pulang gak bawa mainan seribuan yang suka dibeli dari Abang jualan mainan di depan sekolahnya. Sampai aku ketemu Abel.

Abel : Ayahnya Adnan, Adnan sekarang gak boleh minta uang lagi ya………

Deg…. Plasss……
Anak-anak selalu jujur…. Sampai di rumah aku tanya Adnan, sebenarnya selama ini dia dikasih uang atau minta sama Abel…. Ternyata dia yang minta…. Maka dia minta maaf saat itu juga. Tak hanya sekali. Saat mau tidur sama ibunya Adnan nangis. Katanya menyesal selama ini membohongi Ayah. Ibunya menghibur agar dia minta maaf sama Ayah dan istighfar.

Itu kejadian 3-4 bulan yang lalu.
Dan kini saat sakit dia ingat ‘dosa’nya….

Aku : Allah bukan marah, tapi menegur …..
Adnan : Jadi dosaku bisa dihapus?
Aku : Bisa… kan Adnan sudah minta maaf dan istighfar kepada Allah.
Dan tidak mengulangi lagi…..

Dalam hati aku merasakan bahwa pertanyaan dan dialog dengan Adnan adalah cara Allah menegur aku dan orang-orang dewasa lainnya…. Anak kecil aja ingat akan kesalahannya, masak kita kalah sama anak kecil….

Cikarang Baru, 8 Agustus 2009.

Selasa, 21 Juli 2009

Andi Kecewa MU Gak Jadi Datang

Meskipun tidak mampu beli tiket Andi pasti kecewa MU tidak jadi dating bertanding di Indonesia. Ya harga tiketnya sangat mahal. Rp. 3.5 juta. Wuiiiii. “The ticket is very expensive.” jawab Andi ketika ditanya temannya kenapa dia gak beli tiket nonton di Senayan, beberapa hari sebelum kejadian bomber meledakkan resto di JW Marriot dan Ritz Carlton itu.

Ya Andi memang penggemar MU…. Ini tersirat dari dialog murid-muridku di klub bahasa Inggris EMC di Cikarang Baru.

Selengkapnya dialog itu kurang lebih demikian:

Burhan : Hi, Andy, Assalamu’alaikum…..
Andy : Hi, Burhan, wa’alaikum salam…. How are you?
Burhan : Alhamdulillah, I am fine. I hope you are fine, too.
Andy : Burhan, did you watch football match last night? It was a wonderful match.
Burhan : No, I didn’t.
Andy : Why didn’t you watch it?
Burhan : I don’t like football.
Andy : Why?
Burhan : It takes too much time. 90 minutes is too long time for me.
Andy : Of course, not, if you like it.
Burhan : Ok. By the way, why do you like football?
Andy : I like its teamwork. The players work together smartly. They help each other to make a goal.
Burhan : What is your favorite football team?
Andy : MU, Manchester United from United Kingdom.
Burhan : Wow, MU? It is the team that will come to Indonesia next few days, isn’t it?
Andy : Yes.
Burhan : Will you go to Senayan to watch the match?
Andy : No, I have no money. The ticket is very expensive.
Burhan : Poor you, Andy.

Saya yakin pembaca memahami dialog sederhana murid-muridku di atas. Kalau gak ngerti jangan bilang-bilang Burhan, ya…. kalau dia dengar, sekali lagi dia akan bilang kepada pembaca, “Poor you, all.”………. Kacian deh, luuu. .......... Peace!

Cikarang Baru, 21 Juli 2009

Jumat, 17 Juli 2009

Koboi

Seperti biasa setiap pagi saya mengantar anak bungsu saya ke sekolah naik motor. Dalam perjalanan 10-15 menit itu banyak obrolan terjadi. Biasanya yang membuka pembicaraan adalah anak saya, Adnan.


Kali ini ujug-ujug dia menanyakan tentang koboi.

Adnan : Ayah, koboi itu banyak nggak….?

Saya : Ya, banyak…

Adnan : Aku mau jadi koboi, deh kalo sudah gede.

Saya : O ya?

Adnan : Ya!

Saya : Tahu nggak kamu, koboi itu apa?

Adnan : Emang apa?

Saya : Penggembala sapi.

Adnan : Hah…., masak….

Saya : Iya.

Adnan : Terus kudanya untuk apa?

Saya : Untuk ngejar kalau ada sapi yang lepas. Lalu dijerat pake tali.

Adnan : ……….

Saya : Koboi bawa tali, kan?

Adnan : Iya….. oh jadi tali itu untuk menangkap sapi yang lepas, to…

Saya : Iya..

Adnan : kalau sapi yang lepas banyak, teman-temannya ikut Bantu ya?

Saya : Iya…

Adnan : semua dijerat pake tali…. Wui hebaat….

Saya : atau digiring ……

Adnan : digiring itu apa? (Adnan suka main bola. Mungkin bayangan dia digiring, kok

kayak bola aja).

Saya : Di kepung agar sapinya lari terus sampai ke kandangnya…


Pembicaraan tidak selesai atau selesai sampai disini. Jalanan yang padat mengalihkan perhatian Adnan kepada yang lain. Apalagi ketika saya harus menyeberangkan motor saya ke kanan menuju jalan ke sekolahnya. Ketika lampu sein saya nyalakan tidak ada motor yang memberi jalan. Baik yang dari arah berlawanan maupun dari belakang saya…..


Biasanya Adnan mengumpat… “Dasar!” Menirukan umpatan saya…….

Anak-anak memang peniru yang baik.


Cikarang Baru, 17 Juli 2009

Kamis, 16 Juli 2009

Selamat Datang..... Tetap Belajar!

Blog ini saya buat untuk menuangkan cerita pengalaman membimbing anak-anak belajar di bimbingan belajar milik saya. Di sini saya, istri dan beberapa guru membimbing anak-anak untuk mengulang-ulang pelajaran di sekolahnya.

Cikal bakal bimbel ini adalah les privat yang diadakan istri saya untuk murid-murid sekolahnya. Ya, waktu itu istri saya adalah guru SD. Beberapa murid merasa kurang memahami pelajaran yang disampaikan ke sekolah. Orang tuanya menitipkan anaknya les privat di rumah kami.

Itu lebih dari enam tahun yang lalu. Kini murid-murid istri saya sudah ada yang masuk perguruan tinggi. Oh, senangnya jika anak didik kita berhasil menapaki jenjang-jenjang kesuksesan dalam pendidikannya. Ada juga yang tidak melanjutkan sekolah, karena gagal dalam menjaga pergaulan sehingga harus menikah dini. Padahal dulu waktu SD dia termasuk murid yang pintar dan rajin.

Cerita yang lain, insya Allah akan sangat menarik..... Saya mencoba konsisten menuliskannya....
Semoga bermanfaat bagi kita semua.

Cikarang Baru, 16 Juli 2009