
Tadi malam demikian pula.
Dia bertanya hal yang sama sejak salam 2 rakaat pertama selesai. Kali ini saya tidak menjawabnya. Malah saya balik bertanya, “Tinggal berapa, ayo…?”
Mata Adnan bergerak-gerak, seakan dia melihat sesuatu di kepalanya. Jari tangannya tidak dimainkan untuk menghitung sesuatu.
“Berapa?” Tanya saya lagi.
“Em… sembilan.” jawabnya. Saya menyorongkan jempol saya, tanda saya senang karena jawabannya benar. Dan segara saya dan Adnan berdiri karena Imam segera memulai 2 rakaat kedua.
Begitu selesai salam 2 rakaat kedua kini saya yang bertanya.
“Adnan, berapa lagi?”
Sejenak dia diam…. Lalu jawabnya,
“Tujuh.” Saya melemparkan senyuman senang, sambil berkata “Yes!”
“Gimana caranya?”
“Ya, tinggal dikurangi aja dua-dua.”
Saya elus kepalanya, tanpa bisa menyembunyikan kegembiraan saya. Dia bisa menyimpulkan sendiri operasi hitungan tanpa saya sengaja mengajari. Bayangkan saya punya murid di bimbel saya yang jauh lebih tinggi kelasnya. Sampai saat ini masih kesulitan menyimpulkan menggunakan operasi hitungan apa dalam menghadapi soal cerita. Kapan harus menjumlah, mengurangi. Kapan harus kali atau bagi.
Lalu Adnan saya tanya lagi,
“Habis tujuh berapa lagi?” maksud saya setelah 2 rakaat lagi dilaksanakan, shalat tarawih tinggal berapa lagi.
“Lima.” jawabnya lebih cepat.
“Lalu?” Tanya saya.
“Tiga.” Jawabnya lebih cepat lagi.
Lalu?
“Satu” jawabnya seperti tanpa mikir lagi
“Lalu”
“Nol!”
Ya, di masjid kami memang witir yang tiga rakaat dilaksanakan dua kali salam. Jadi 2 + 1. Saya telah mendapatkan hadistnya, ternyata ini boleh dilakukan.
Dan alhamdulillah, dengan rutin shalat tarawih Adnan bisa enjoy pula belajar matematika.
Cikarang Baru, 14 Ramadhan 1430H/4 September 2009
Choirul Asyhar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar