Minggu, 28 Maret 2010

1000 Bungkus Perhari

Ini target posko banjir sebuah parpol di lokasi banjir di Labansari. Nasi bungkus ini untuk membantu para korban banjir. Kalau sehari makan tiga kali berarti ini hanya untuk 350 jiwa. Berapa jumlah pengungsi korban banjir di Labansari dan Bojongsari. Lebih dari seribu jiwa. Berarti posko ini hanya bisa membantu sepertiga jumlah pengungsi saja.

Artinya, bantuan masyarakat masih sangat dibutuhkan. Ada 40 parpol di negeri ini. Jika semua turun membantu maka menjadi ringanlah beban membantu warga Labansari dan Bojongsari ini. Barangkali tak usah semuanya, karena sudah banyak yang mati suri sejak pemilu selesai. Anggap saja 9 parpol yang berhasil masuk Senayan saja yang turun membantu, warga Labansari dan Bojongsari akan sangat terbantu.

Ada yang bilang, membantu korban banjir yang ikhlash saja. Jangan demi kepentingan politik. CikarangNews6 termasuk yang tak sepakat dengan komentar ini. Siapapun boleh membantu karena sekarang korban banjir memang sedang butuh bantuan. Apapun motivasinya, toh warga tak memperdulikan itu lagi. Siapapun yang memberi bantuan pasti diterima demi mengganjal dan meneruskan kehidupannya.
Jangan karena takut dibilang politis dan tidak ikhlas lalu tidak turun membantu. Justru saat ini tak ada bantuan yang politis. Karena pilkada dan pemilu masih jauh. Kini saatnya parpol menujukkan ketulusannya berbakti kepada rakyat negeri ini. Sambangi rakyat yang sedang membutuhkan parpol. Jangan hanya menyambangi pada saat mereka tak butuh. Jangan hanya menyambangi hanya pada saat petinggi parpol butuh suara yang mengantarkan mereka ke kursi empuk kekuasaan saja.

Kini saatnya membalas budi.

“Berapa biaya untuk 1000 bungkus nasi?”
“Kalau sebungkus Rp 4000,- berarti dibutuhkan Rp 4 juta rupiah perhari.” Kata ketua posko parpol berlambang bulan sabit kembar yang mengapit setangkai padi itu. Wow, jumlah yang tak sedikit. Jika tidak didukung oleh donator yang cukup dan yang ikhlas menyumbang setiap hari sulit mendapatkan dana sebesar itu.

Setiap hari juga terdapat para petugas yang standby di posko ini. Tak pernah berhenti 24 jam. Tak pernah kosong.

Ternyata membangun posko banjir tak sekedar menggelar tenda.

Rumah

Bangunan tempat tinggal manusia, tempat berlindung dari panas dan hujan. Dari dingin dan terpaan angin. Itulah rumah. Apapun bentuk dan kualitasnya.

Rumah juga tempat penghuninya pulang dan melepas lelah setelah seharian bekerja di luar rumah. Apapun bentuknya. Bagaimanapun kualitasnya. Setiap hari pemiliknya pasti datang pulang ke bangunan ini. Beristirahat dan bercengkerama dengan keluarganya.

Meskpiun kantor kita indah, resik dan berpendingin, kita pasti pulang ke rumah sendiri. Tak peduli rumah kita jelek, berantakan dan panas pengap. Meskipun diluar persaudaraan terjalin akrab dengan teman dan kerabat, kita pasti pulang ke rumah sendiri. Tak peduli di sini sunyi sepi, tak jarang bertengkar suami-istri, berseteru anak-bapak.

Di Labansari, ratusan rumah sudah seminggu ini terendam banjir. Pemiliknya mengungsi di rumah saudara, di pinggir jalan, di pasar, di stasiun kereta atau di mushalla. Ini bukan kali pertama terjadi. Tapi ini yang paling parah. Meskpiun demikian rasanya berat meninggalkan kampong halaman dan rumah yang telah dihuni turun-temurun ini.

Saat banjir seperti ini bahkan ada saja warga yang tak mau meninggalkan rumahnya. Mereka tetap di rumah. Menetap di dalam rumah di atas apapun yang bisa mengangkat mereka dari rendaman air. Bisa jadi mereka tinggal di anjangan bamboo yang dibuat di bawah atap rumah. Demi menjaga keamanan rumahnya. Para sukarelawan harus mengantarkan makanan ke sana, jika saat makan tiba. Jika ada makanan sumbangan donatur yang bisa dibagikan.

Demikian, rumah bagai jiwa kedua. Apapun bentuknya. Bagaimanapun kualitasnya. Jika tiba-tiba air meninggi merendam rumah mereka? Mereka seperti rela saja. Kalau toh menjadi korban banjir, toh mereka mati dalam pangkuan jiwanya.

Rumah juga melambangkan status social. Gayus Tambunan saat kuliah tinggal di rumah di gang sempit dengan kualitas yang jauh dari sehat. Itulah status social keluarga Gayus, pegawai kantor pajak itu saat masih kuliah. Kini pemilik rekening 25 milyar di usianya yang baru 30 tahun itu memiliki rumah super mewah senilai 4 milyar di ibu kota Jakarta. Itulah status social Gayus sekarang.

Tapi kualitas rumah yang melambangkan status social itu tak serta merta mewakili kenyamanan hidup. Pemilik rumah di Labansari yang terendam seminggu itu tetap setia menunggui rumahnya, karena mereka hidup nyaman di dalamnya. Sedangkan Gayus, lulusan STAN tahun 2000 yang kuliahnya dibiayai negara itu, kini tak lagi menghuni rumah mewahnya itu. Karena kenyamanan kemewahan tiba-tiba dicabut dari jiwanya. Kini dia harus meninggalkannya dan hidup buron di dalam kegalauan jiwanya.

Pasir Gombong, 26 Maret 2010
Tulisan ini juga di muat di facebook

Senin, 01 Maret 2010

STOP PRESS!

Segera Dibuka!
Bimbingan Belajar ibnuSina di Graha Asri, Kota Jababeka.

Ini adalah outlet kedua setelah kami membuka yang pertama di Cikarang Baru.

Kini bimbel ibnuSina tidak hanya dinikmati oleh warga Cikarang Baru.
Warga Graha Asripun bisa memanfaatkannya.

Ayo daftarkan putra-putri Anda dari sekarang.
Kegiatan Bimbingan Belajar Mulai 1 April 2010.

Kami siap membantu putra-putri Anda menghadapi ujian kenaikan kelas.