Minggu, 28 Maret 2010

Rumah

Bangunan tempat tinggal manusia, tempat berlindung dari panas dan hujan. Dari dingin dan terpaan angin. Itulah rumah. Apapun bentuk dan kualitasnya.

Rumah juga tempat penghuninya pulang dan melepas lelah setelah seharian bekerja di luar rumah. Apapun bentuknya. Bagaimanapun kualitasnya. Setiap hari pemiliknya pasti datang pulang ke bangunan ini. Beristirahat dan bercengkerama dengan keluarganya.

Meskpiun kantor kita indah, resik dan berpendingin, kita pasti pulang ke rumah sendiri. Tak peduli rumah kita jelek, berantakan dan panas pengap. Meskipun diluar persaudaraan terjalin akrab dengan teman dan kerabat, kita pasti pulang ke rumah sendiri. Tak peduli di sini sunyi sepi, tak jarang bertengkar suami-istri, berseteru anak-bapak.

Di Labansari, ratusan rumah sudah seminggu ini terendam banjir. Pemiliknya mengungsi di rumah saudara, di pinggir jalan, di pasar, di stasiun kereta atau di mushalla. Ini bukan kali pertama terjadi. Tapi ini yang paling parah. Meskpiun demikian rasanya berat meninggalkan kampong halaman dan rumah yang telah dihuni turun-temurun ini.

Saat banjir seperti ini bahkan ada saja warga yang tak mau meninggalkan rumahnya. Mereka tetap di rumah. Menetap di dalam rumah di atas apapun yang bisa mengangkat mereka dari rendaman air. Bisa jadi mereka tinggal di anjangan bamboo yang dibuat di bawah atap rumah. Demi menjaga keamanan rumahnya. Para sukarelawan harus mengantarkan makanan ke sana, jika saat makan tiba. Jika ada makanan sumbangan donatur yang bisa dibagikan.

Demikian, rumah bagai jiwa kedua. Apapun bentuknya. Bagaimanapun kualitasnya. Jika tiba-tiba air meninggi merendam rumah mereka? Mereka seperti rela saja. Kalau toh menjadi korban banjir, toh mereka mati dalam pangkuan jiwanya.

Rumah juga melambangkan status social. Gayus Tambunan saat kuliah tinggal di rumah di gang sempit dengan kualitas yang jauh dari sehat. Itulah status social keluarga Gayus, pegawai kantor pajak itu saat masih kuliah. Kini pemilik rekening 25 milyar di usianya yang baru 30 tahun itu memiliki rumah super mewah senilai 4 milyar di ibu kota Jakarta. Itulah status social Gayus sekarang.

Tapi kualitas rumah yang melambangkan status social itu tak serta merta mewakili kenyamanan hidup. Pemilik rumah di Labansari yang terendam seminggu itu tetap setia menunggui rumahnya, karena mereka hidup nyaman di dalamnya. Sedangkan Gayus, lulusan STAN tahun 2000 yang kuliahnya dibiayai negara itu, kini tak lagi menghuni rumah mewahnya itu. Karena kenyamanan kemewahan tiba-tiba dicabut dari jiwanya. Kini dia harus meninggalkannya dan hidup buron di dalam kegalauan jiwanya.

Pasir Gombong, 26 Maret 2010
Tulisan ini juga di muat di facebook

Tidak ada komentar:

Posting Komentar