Selasa, 29 September 2009

Mati Duluan

Setelah azan maghrib, saya dan dua anak laki-laki saya Abyan (13) dan Adnan (5) pergi ke masjid dekat rumah. Dalam perjalanan seperti biasanya Adnan ngajak ngobrol.

“Ayah, berapa umur Ayah?”

“Empat puluh tiga!” jawabku cepat… yang ternyata salah.

“Empat puluh empat, Yah…” Abyan cepat mengkoreksi.

“O ya, sebentar lagi pas empat puluh empat.” Kataku.

“Kalau Ibu?” Tanya Adnan selanjutnya.

“Empat puluh satu!” jawabku sambil mempercepat langkahku, karena sebentar lagi pasti iqamah akan dikumandangkan. Abyan dan Adnan ikutan mempercepat langkahnya.

“Berarti Ayah duluan mati!” seru Adnan santai…. Tapi tetap mengagetkanku.

“Hhh… Apa?” Tanya Abyan kepada Adnan.

“Berarti Ayah duluan mati.” Ulangnya ringan.

Aku tetap mempercepat langkahku, sambil tersenyum, agak kecut. Siapa orangnya yang gak takut mati.

“Kalau Mas Abyan dan Mbak Ahsana siapa yang duluan mati?” tanyaku.

“Ya, mBak Ahsana.. kan dia lebih tua.”

“Kalau Adnan dan Mbah Athaya?”

“Ya, duluan Mbak Athaya.”

Aku tersenyum kecut dengan logika Adnan. Yang lebih tua bakal mati duluan.

“Kalau semua mati duluan, nanti Adnan kalau mati siapa yang nguburin?” godaku.

“Ya, orang-orang yang lainlah…” jawabnya nyantai.

Aku tersenyum lagi, ….sebenarnya sih menahan haru. Ketidakmengertiannya membuat dia gak sedih kalau ditinggal mati ayah ibu dan saudara-saudaranya.

“Adnan, pernah denger anak muda mati duluan?” tanyaku.

“Pernah, ada juga bayi yang mati.” Jawabnya santai, tanpa beban bahwa ini antitesis dari kesimpulannya terdahulu.

“Itu berarti umur manusia itu hanya Allah yang tahu.” Aku menjelaskan.

Ada yang mati saat umurnya sudah tua, ada pula yang masih muda tapi duluan mati.” Aku melanjutkan.

Adnan tidak menjawab…. kaki-kaki kami telah menginjakkan teras masjid. Obrolan singkat ini segera terhenti, karena sholat segera dimulai.

Setelah shalat, aku cuma bisa merenungi dialog sederhana dengan si bungsu ini. Meski tidak seratus persen benar, saya bisa menerima logika Adnan. Minimal pembenarannya adalah kalau usia masih muda ada 2 kemungkinan: akan menikmati usia tua atau mati muda. Tapi bagi orang yang sudah berusia tua kemungkinannya tinggal satu yaitu mati. Karena tak mungkin ia bakal kembali menikmati masa-masa mudanya.

Rabbi…. beri kami anak-anak yang shaleh.

Rabbi ….beri kami khusnul khatimah.

Cikarang Baru, 8 Syawal 1430H/27 September 2009

Jumat, 25 September 2009

Indahnya Berbagi

Sepuluh hari terakhir Ramadhan memang saya membatasi diri untuk ngeblog.... takut waktunya bablas surfing kemana-mana. Maka saya borong upload tulisan yang sudah terekam di kepala. Ini diantaranya:

Setiap hari masjid al Muhajirin selalu mangadakan buka bersama. Acara berlangsung lancar karena penyedia takjil sudah diatur sedemikian rupa. Bergilir dari satu gang ke gang lain. Alhamdulillah setiap hari makanan yang tersedia tidak cuma makanan kecil, tapi juga makanan besar. Kalau cuma ada makanan kecil, jumlahnya sangat lebih dari cukup.

Buka puasa ini disediakan selain untuk para musafir dan pedagang keliling, juga diharapkan melalui forum ini keakraban bertetangga terjalin lebih baik. Agar masjid tak kotor, acara ini dilaksanakan di balai RW yang terletak di samping masjid. Setiap hari balai RW ini dipenuhi oleh Bapak-bapak yang ikut berbuka. Selain itu tak kalah serunya dengan banyak anak-anak dan remaja yang turut serta menyantap menu berbuka puasa ini. Dan tak ketinggalan ibu-ibu penyedia takjil menyiapkan dan melayani mereka.

Seperempat jam sebelum waktu maghrib, ada Ustadz yang menyampaikan tausiah. Sementara tausiyah berlangsung, makanan berbuka bergeser dibagikan. Ada beberapa piring kue, ada es buah, teh hangat, kolak, agar-agar, kurma, air putih. Kadang-kadang ada bakso dan nasi kotak.

Menyambut makanan ini yang paling meriah tentu anak-anak dan para remaja. Setelah sehari berpuasa, rasanya semua makanan yang ada harus dijajal satu per satu. Maka tak heran jika di depan seorang anak ada tiga macam minuman, es buah, kolak, dan the. Juga beberapa macam makanan.

Sementara Bapak-bapak biasanya khusyuk mendengarkan tausiyah.

Suatu hari, selain makanan kecil ada kiriman nasi bungkus dari salah satu penyedia takjil. Dan beberapa saat kemudian dari [enuedia takjil lainnya ada kiriman nasi kotak. Saat pembagian menjelang berbuka, saya menyaksikan ada empat anak yang menerima kedua jenis nasi tersebut. Keduanya diletakkan di sampingnya. Rasa malunya membuat mereka tak terang-terangan menempatkannya di hadapannya. Sekali lagi… puasa seharian sering menyebabkan anak-anak bernafsu untuk melahap semuanya.

Saya yang berada di antara anak-anak itu tak tega melihat pemandangan yang tak elok ini.

“Anak-anak….” kata saya. “Kalau kalian punya dua porsi nasi, siap-siap ya untuk berbagi.” Lanjut saya.

“Sebentar lagi akan datang beberapa orang yang tentu belum kebagian apa-apa. Nah, kalian yang punya dua, saatnya belajar berbagi. Silakan dibagikan kepada orang ini.”

Empat anak yang tadi menyimpan dua porsi nasi saling sikut. .... akhirnya mereka tak malu-malu lagi mengeluarkan simpanan makanannya dan menempatkannya di depannya masing-masing.

Benar saja, tak lama kemudian datang dua orang Bapak. Saya pun memberi aba-aba: saatnya untuk berbagi. Maka seorang anak dengan sigap mengantarkan sebungkus nasinya dan nasi temannya kepada kedua orang yang baru datang itu.

Saya sangat bahagia melihatnya. Mereka tampak ikhlas melaksanakan nasihat saya. Selama ini mereka hanya tak mengerti saja mana yang elok mana yang tidak. Maka ketika diberi penjelasan mereka dengan mudah dan sigap melaksanakannya.

Beberapa saat kemudian dua orang datang lagi. Dua anak yang berkelebihan nasi bungkuspun menyambutnya dengan uluran nasi.

Saya tersenyum puas, keempat anak itupun juga tampak tanpa beban lagi…. Memang indah kalau kita mau berbagi.

Terngiang sabda Rasulullah, "bukan dari golongan kami orang yang tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan." Anak-anak telah mengamalkannya. Semoga Allah membimbing mereka sampai dewasa kelak.

Cikarang Baru, 1 Syawal 1430H/20 September 20, 2009

Segelas Es Kelapa Muda

Sedekah Berbuka (2)

Sebuah catatan Ramadhan yang tercecer

“Assalamu’alaikum….!” Terdengar suara teriakan anak kecil di depan pagar. Pak Fulan yang berada di ruang tamu langsung bangkit menuju pagar.

“Silakan, Pak….” Kata si anak kecil itu. Tanpa menunggu pagar dibuka, tangannya langsung molos melalui celah-celah pagar. Pak Fulan refleks menerimanya, juga tanpa basa-basi membuka pagar misalnya. Bisa kejepit tangan si anak kecil itu.

Beberapa saat kemudian segelas es kelapa muda berpindah tangan dari tangan si kecil ke tangannya.

Beberapa menit kemudian, terdengar adzan maghrib dari TV. Setelah membaca basmalah, Pak Fulan menyeruput es kelapa muda yang masih belum lepas dari tangannya itu. Dia merasakan benar nikmatnya berbuka puasa hari ini. Segelas es kelapa muda benar-benar membuatnya ‘hidup’ kebali. Bagai tanaman kering mendapat siraman air. Nilainya mungkin cuma dua ribu rupiah. Tapi kali ini Pak Fulan menganggap tak ternilai harganya. Karena dia hadir pada saat sangat dibutuhkan.

Pak Fulan bukanlah seorang miskin. Dia seorang pensiunan PNS yang dari penampilannya, pangkatnya terakhir cukup lumayan. Dia memiliki rumah tipe 45 yang sudah direnovasi cukup bagus. Dia punya motor keluaran baru. Tak ada tanda-tanda berkekurangan.

Sore itu dia sendirian di rumah menunggu adzan maghrib. Tak ada persiapan apa-apa untuk berbuka puasa. Istrinya sedang sibuk menyiapkan takjil di masjid dekat rumah. Di masjid ini setiap hari ada acara berbuka bersama. Beberapa warga mendapatkan giliran menyediakan makanan takjilnya. Rencananya Bu Fulanah tidak lama di masjid. Hanya menyerahkan sedekah berbuka bersama. Lalu pulang mengurus suaminya.

Ternyata di masjid kekurangan orang untuk melayani berbuka warga yang sudah berkumpul di sana. Bu Fulanah yang ringan tangan langsung turun membantu. Lupa bahwa di rumah belum disiapkan takjil untuk suaminya.

Maka kedatangan anak kecil membawa segelas es kelapa muda, bagai air hujan yang turun di musim kemarau yang panjang. Kesegaran bakal didapatkannya begitu azan maghrib tiba nanti. Segelas es kelapa muda, tak peduli hanya dua ribu rupiah, seperti tak ternilai harganya jika datang pada saat yang tepat. Jika diterima oleh orang yang benar-benar membutuhkan.

Maka terngiang sabda Rasulullah tentang anjuran beliau salallahu ‘alaihi wasallam

Agar kita berlomba-lomba menyediakan makanan berbuka bagi mukmin yang berpuasa. Disisi Allah pahalanya sama dengan pahala yang diterima orang yang berpuasa yang diberi makanan berbuka itu tanpa mengurangi hak pahala orang tersebut sedikitpun.

Ini amalan mulia yang terbuka bagi siapa saja. Tak perlu menunggu kaya untuk menjamu makanan berbuka. Karena menunya tak harus mahal. ……… Si kecil –mungkin atas perintah orang tuanya, nampaknya sedang berlatih memberi sedekah berbuka….walau dengan segelas es kelapa muda.

……… Bahkan sabda sang Rasul SAW ”Walaupun dengan sebiji kurma, walaupun dengan seteguk air.”

Sebuah kemudahan yang sayang jika ditinggalkan.

Cikarang Baru, 18 Ramadhan 1430H/8 September 2009

4-4-3 atau 2-2-2-2-3

Bagi penggemar sepak bola pasti tahu dengan formasi di atas. Bahwa itu BUKAN formasi penempatan pemain dalam pertandingan bola! Mana ada kipper jumlahnya 3. (Sssst…. Karena saya bukan penggemar bola, saya tidak tahu jangan-jangan strategi di atas memang ada, ya….???).

Tapi bagi penggemar shalat tarawih di bulan ramadhan, pasti kenal dengan komposisi angka ini. Ya… ini memang komposisi jumlah rakaat tarawih untuk genap menjadi 11 rakaat. Yang pertama 4-4-3. Artinya 4 rakaat satu salam, dilakukan dua kali lalu ditutup dengan witir 3 rakaat. Lalu yang kedua 2-2-2-2-3. Bermakna 2 rakaat satu salam sebanyak empat kali lalu ditambah witir 3 rakaat. Dua-duanya totalnya menjadi 11 rakaat.

Di masjid dekat rumah shalat tarawih dikerjakan dengan cara 2-2-2-2-3. Saya dan anak-anak sudah hapal betul dengan cara ini. Cara ini lebih familiar dilakukan di sejumlah masjid. Dengan dua-dua jamaah tidak terlalu capek. Karena setiap dua rakaat kita bisa jeda. Anak saya yang berumur lima tahun pun, bisa belajar berhitung dengan mudah. Dia cepat tahu, kurang berapa rakaat lagi shalat tarawih selesai karena tinggal mengurangi dua-dua.

Entah tahu dari mana tiba-tiba di sela-sela jeda shalat tarawih Adnan (5) bertanya.

“Yah, boleh nggak kita shalat empat-empat.”

Saya tak perlu melacaknya darimana dia dapat ide ini, mendingan saya jawab saja:

“Boleh.” Karena memang nyatanya Rasulullah juga pernah melakukan cara ini.

“Jadi empat-empat-tiga.” Saya menjelaskan lebih lanjut.

Adnan mencoba berhitung dengan jari-jarinya. Empat ditambah empat sama dengan delapan lalu ditambah witir tiga rakaat. Semuanya jadi sebelas.

“Yah, mau dong kita shalat 4-4?” pintanya.

“Emang kenapa?” Tanya saya.

“Biar lebih cepat selesai.” alasannya. Mungkin karena salamnya cuma tiga kali, jadi kesannya lebih cepat selesai.

“Ya… lain kali kita shalat di masjid al Islah.” Saya menjanjikan. Masjid al Islah di RW tetangga memang melaksanakan tarawih dengan 4-4-3.

Sejak itu setiap malam ketika berangkat tarawih, Adnan selalu mengingatkan kapan kami tarawih 4-4-3. Dan saya selalu menjanjikannya. Tapi sayang saya selalu melupakannya karena kesibukan saya. Sampai ramadhan pun berakhir kemarin.

Saya menyesal sekali. Sebenarnya ini bakal menjadi pembelajaran yang sangat berarti bagi Adnan. Bahwa ada keberagaman dalam melaksanakan ibadah tarawih. Dan semuanya pernah dilakukan oleh Rasulullah. Kalau Rasulullah pernah melakukan demikian, tentu tak ada masalah para pengikutnya juga melaksanakan dengan beberapa cara itu.

Mengingat keinginan Adnan ini, saya jadi teringat heboh beberapa tahun lalu di sebuah masjid lainnya di perumahan saya tinggal. Jamaah marah karena Imamnya mengimami shalat tarawih dengan 4-4-3. Padahal selama ini telah disepakati untuk tarawih dengan 2-2-2-2-3. Gara-gara kemarahan itu beberapa orang jamaah yang setuju dengan 4-4-3, termasuk sang Imam itu kini tak pernah lagi menginjakkan kakinya di masjid itu.

Sekali lagi saya menyesal Ramadhan tahun ini tak sempat mengajak Adnan shalat tarawih di masjid 4-4-3. Padahal dia sangat menginginkannya. Kalau saja dia berkesempatan, tentu ini menjadi investasi sikap toleran dalam jiwanya.

Ya Allah, berilah saya, dan juga Adnan, umur panjang sampai Ramadhan tahun depan. Lalu kami jalan-jalan ke masjid lain untuk menikmati ‘strategy’ 4-4-3.

Cikarang Baru, 1 Syawal 1430H/20 September 2009

Jumat, 04 September 2009

Sedekah Berbuka (1)

Rasulullah mengajarkan kalau kita berpuasa lalu memberi buka puasa kepada orang mukmin yang berpuasa, kita akan mendapatkan pahala sebesar pahala orang tersebut tanpa mengurangi hak dia.

Ini tampaknya menginspirasi tetangga di depan rumah saya. Bagi saya ia adalah juara satu tercepat dalam memberi takjil bagi tetangganya. Sebenarnya bukan cuma di bulan Ramadhan, bulan-bulan lain Ibu Fulanah ini juga rajin bagi-bagi makanan meskipun hanya semangkok sayur asem.

Ya…. Dia yang tercepat!

Karena dia sudah berlatih pada bulan-bulan sebelumnya!

Pada hari pertama sekitar jam empatan sudah ada semangkok bubur ketan hitam dikirim ke rumah. Alhamdulillah…. Semoga Allah memberi ganjaran yang berlipat ganda. Semoga puasa saya diterima Allah, mendapat pahala dan dia juga mendapatkannya sebesar itu tanpa mengurangi pahala saya. Seperti janji Rasulullah. Subhanallah.

Hari kedua….. tetangga yang lain lagi mengirim segelas es buah. Sekitar jam limaan.

Nikmat rasanya, saat dibutuhkan tiba-tiba mendapatkannya. Anak-anak saya, Athaya dan Adnan, yang sedang belajar puasa menampakkan benar kegembiraan itu, meskipun saat berbuka masih satu jam lagi. Apalagi awal-awal puasa ini Ibunya memang sedang tidak di rumah karena ikut diklat guru di luar kota.

Oh… indahnya ajaran Rasulullah. Beri-beri-beri. Tak usah malu berapapun. Bagi-bagi-bagi. Secepat angin yang bertiup.

Ketika Rasulullah menyampaikan ajaran ini, seorang sahabat berkata bahwa tidak semua sahabat berkemampuan memberi sedekah berbuka. Maka Rasulullah memberikan jawaban yang menggembirakan semua orang “walaupun hanya dengan sebiji kurma. Walaupun hanya dengan seteguk air.”

Hari berikutnya…. Ada semangkuk bakso….

Saya menerimanya dengan doa tulus, agar dia mendapatkan pahala yang berlipat ganda. Karena sang tetangga melaksanakannya demi patuhnya kepada Rasulullah SAW.

“Ayah, kapan kita bagi-bagi buka puasa?” tiba-tiba anak saya Athaya (9 th) mengingatkan. Sebelum Ramadhan memang dia melihat saya mengetik rencana kerja selama Ramadhan. Diantaranya ada poin “sedekah berbuka”.

“Ya, ayah sedang menunggu kurmanya. Sudah dipesan ke teman Ayah. Nanti kalau ada, Ayah ditelpon.”

Sampai dua hari telpon yang saya tunggu belum juga ada. Athaya tampaknya sudah ngebet. Katanya, “gimana dong, Ayah gak melaksanakan programnya sendiri.”

“Oke, besok kita siapkan.” Jawab saya semangat, karena disemangati Athaya. Kebetulan besok juga ada jadwal kirim takjil ke masjid.


Maka sore itu saya membeli 6 buah kelapa muda, beli gelas plastik, tutupnya dan sendok plastik. Yang praktis-praktis saja. Kelapanya juga sudah dipecah oleh penjualnya. Sudah berpindah ke kantung plastik. Jadi sampai di rumah tinggal nuang-nuangin ke gelas plastik.

Akhirnya jadilah 20 gelas es kelapa muda. Senang sekali akhirnya bisa mengantar sedekah berbuka ke masjid. Anak-anak juga tampak sangat menikmati kegiatan ini.

Cikarang Baru, Ramadhan 1430H.

Terima kasih kepada para tetangga dan anak-anakku yang telah mengingatkan amalan mulia ini.

Matematika Tarawih

Setelah mengikuti tarawih empat belas kali, ada perkembangan baru Adnan (5 th) dalam bermatematika. Jika saya tidak dapat tugas jadi imam sholat, Adnan shalat di sebelah saya. Biasanya sejak selesai 2 rakaat pertama dia selalu bertanya, “Ayah, berapa rakaat lagi.” Dan saya menjawab dengan menunjukkan jari-jari saya sebanyak rakaat yang tersisa. Demikian seterusnya sampai shalat witir selesai.

Tadi malam demikian pula.
Dia bertanya hal yang sama sejak salam 2 rakaat pertama selesai. Kali ini saya tidak menjawabnya. Malah saya balik bertanya, “Tinggal berapa, ayo…?”

Mata Adnan bergerak-gerak, seakan dia melihat sesuatu di kepalanya. Jari tangannya tidak dimainkan untuk menghitung sesuatu.

“Berapa?” Tanya saya lagi.
“Em… sembilan.” jawabnya. Saya menyorongkan jempol saya, tanda saya senang karena jawabannya benar. Dan segara saya dan Adnan berdiri karena Imam segera memulai 2 rakaat kedua.

Begitu selesai salam 2 rakaat kedua kini saya yang bertanya.
“Adnan, berapa lagi?”
Sejenak dia diam…. Lalu jawabnya,
“Tujuh.” Saya melemparkan senyuman senang, sambil berkata “Yes!”
“Gimana caranya?”
“Ya, tinggal dikurangi aja dua-dua.”
Saya elus kepalanya, tanpa bisa menyembunyikan kegembiraan saya. Dia bisa menyimpulkan sendiri operasi hitungan tanpa saya sengaja mengajari. Bayangkan saya punya murid di bimbel saya yang jauh lebih tinggi kelasnya. Sampai saat ini masih kesulitan menyimpulkan menggunakan operasi hitungan apa dalam menghadapi soal cerita. Kapan harus menjumlah, mengurangi. Kapan harus kali atau bagi.

Lalu Adnan saya tanya lagi,
“Habis tujuh berapa lagi?” maksud saya setelah 2 rakaat lagi dilaksanakan, shalat tarawih tinggal berapa lagi.
“Lima.” jawabnya lebih cepat.
“Lalu?” Tanya saya.
“Tiga.” Jawabnya lebih cepat lagi.
Lalu?
“Satu” jawabnya seperti tanpa mikir lagi
“Lalu”
“Nol!”

Ya, di masjid kami memang witir yang tiga rakaat dilaksanakan dua kali salam. Jadi 2 + 1. Saya telah mendapatkan hadistnya, ternyata ini boleh dilakukan.

Dan alhamdulillah, dengan rutin shalat tarawih Adnan bisa enjoy pula belajar matematika.

Cikarang Baru, 14 Ramadhan 1430H/4 September 2009
Choirul Asyhar

Kamis, 03 September 2009

Semangat…..


Hari itu saya mendapat jadwal mengimami shalat tarawih dan kultum di sebuah mushollah yang saya belum tahu lokasinya. Dalam perjalanan saya menelepon kontak personnya. Telpon gak diangkat. Dua kali saya turun bertanya kepada orang yang lewat, menanyakan lokasi musholla. Tidak ada jawaban pasti. Sayup-sayup iqomat mulai dikumandangkan musholla dan masjid terdekat.

Akhirnya saya putuskan berbelok ke sebuah masjid terdekat yang saya tahu. Akhirnya saya masbuk sholat Isya di situ. Lalu dilanjutkan shalat tarawih. Ternyata di masjid ini tidak ada kultum. Kuliah tujuh menit yang biasa disampaikan sebelum shalat tarawih. Yang realisasinya bisa jadi kuliah terserah antum: bisa tujuh menit, sepuluh menit, seperempat jam bahkan dua puluh menit. Meskipun demikian, bagi yang haus ilmu tak apalah waktunya diperpanjang demikian.

Tapi di sini tak ada kultum.
Sebagai makmum tentu saya ikut aja. Anak saya Adnan, duduk di sebelah saya. Tarawihpun dimulai. Dua rakaat pertama diselesaikan dengan membuat saya ngos-ngosan. Betapa tidak…. Imam membaca alfatihah, surat-surat pendek dengan kecepatan tinggi. Lalu doa-doa dalam rukuk, i’tidal, sujud, duduk dan seterusnya seperti saling mengejar antara Imam dan makmum. Saat Imam bertakbir untuk sujud, makmumpun mengikuti. Begitu makmum menyentuhkan dahinya di sajadah, Imam sudah bangkit duduk. Begitu makmum duduk, Imam sudah sujud lagi. Makmum mengejar sujud, Imam bagai meloncat tegak berdiri di rakaat berikutnya.

Baru pada rakaat kedua saya bisa agak bernafas lega. Meskipun tak bisa menikmati indahnya bacaan Al fatihah dan surat-surat pendek. Sudah suratnya pendek, dibaca cepat pula. Maka ketika Imam rukuk, dimulailah kembali kejar-mengejar gerakan makmum dan imam. Sampai bacaan tasyahudpun saya tak pernah bisa menyelesaikannya. Ketika saya baru membaca syahadat, Imam sudah mengucapkan salam.

Saya merasakan bahwa sang Imam bagai sopir angkot yang mengejar setoran. Benar belaka dugaan saya, ketika selesai rakaat ke delapan, ternyata ‘bilal’ memberikan lagi aba-aba untuk melanjutkan dua rakaat berikutnya. Bukan shalat witir. Ada sekitar separuh isi masjid yang berdiri pulang. Maka sayapun beranjak ke luar sambil menarik tangan Adnan.

“Ada apa, Ayah?” tanyanya heran. Dia heran saya keluar, dia juga heran kenapa sudah delapan rakaat kok belum shalat witir juga.

“Kok belum shalat witir?” tanyanya.
“Iya, disini shalatnya 23 rakaat.” Lalu saya menjelaskan bahwa shalat tarawih ada yang 11 rakaat ada pula yang 23 rakaat.
“Who, banyak banget.” Komentarnya.
“Terus kenapa Ayah keluar?”
“Ayah, capek mengejar Imam. Bacanya cepet banget…Ayah gak bisa ngejar ” jawab saya.
“Wah, kalau Adnan malah semangat!” jawabnya tak saya duga.
“Adnan kalau shalat sendirian ‘kan sudah biasa shalat cepat, Yah…” katanya ringan.
“Jadi, Adnan semangat kalau shalatnya cepat…” lanjutnya. “Tapi Adnan gak mau kalau 23 rakaat.”

Saya jelaskan tak apa shalat 23 rakaat, karena ini juga sunnah para sahabat. Tapi tentu tetap harus menjaga kualitas. Bacaan tartil dan syahdu, dengan gerakan yang wajar. Kalau toh ada sebagian yang belum paham maknanya, kita bisa menikmati indahnya lantunan ayat-ayat Al Quran. Juga bisa khusyu membaca doa-doa.

Shalat itu kan curhat kepada Allah, kenapa harus buru-buru. Buru-buru berarti segera berpisah dengan Allah. Jadi mesti berlama-lama. Enak, toh...?

Cikarang Baru, 3 Ramadhan 1430H