Kamis, 18 November 2010

Qurban, Sate dan Gule Kambing

Semoga ketaqwaan kita sampai kepada Allah
Idul Adha identik dengan daging kambing dan sapi. Di Arab Saudi juga unta. Karena pada hari ini dan hari tasyrik sebagian kaum muslimin memotong hewan kurban. Melaksanakan sunnah Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Muhammad s.a.w. Lalu dagingnya dibagi-bagikan kepada fakir miskin dan masyarakat sekitar. 

Idul Adha identik dengan daging kambing dan sapi ataupun unta. Maka di facebook banyak yang statusnya berisi tentang sate, tongseng dan gule kambing. Pesta makan-makan dan bakar-bakar. Panggang kepala sapi dan kambing. Sop buntut dan kikil.

Kalau ada yang bernuansa lain, itu adalah tentang kepedulian sosial dengan membagi-bagikan daging kurban ke fakir miskin, yatim piatu dan para duafa lainnya.

Sebentar .... saya berhenti menulis dulu. Di TV sedang ada berita orang-orang miskin berebut daging kurban di depan sebuah kantor sebuah partai politik. Para perempuan tua dan anak-anak tergencet. Di sana-sini hiruk pikuk suara tangis. Sementara dari belakang sana ratusan massa terus mendorong menggencet orang-orang yang sudah berada di depan pagar tinggi yang cuma dibuka 80 cm dan dijaga satpam. Wajah kemiskinan di negeriku nampak nyata pada saat-saat seperti ini. 

Meski sayangnya belum ketemu cara yang memanusiakan, Idul Adha jadi identik dengan kegiatan sosial. Aspek ruhiyahnya terdegrasi. Aspek hablumminallah-nya terpinggirkan. Tertutup dengan aspek sosial, kepedulian dan silaturahim warga sebuah perumahan. Tidak salah memang, hanya saja makna ruhiyahnya yang palig penting kok justru terlupakan.

Padahal penyembelihan Ismail a.s. tak sekedar pengorbangan, tapi juga kepatuhan kepada Allah. Kepatuhan kepada Allah adalah segala-galanya. Mengalahkan cinta kepada anak. Mengalahkan cinta Ibrahim a.s. kepada anak satu-satunya –saat itu, yaitu Ismail.

Ketika cinta kepada anak dan istri berlebihan, sering mengalahkan cinta kita kepada Allah. Ketika cinta kepada harta berlebihan, sering menyita waktu kita untuk tak bersimpuh di haribaan Allah. Kecuali pada sisa-sisa waktu yang sangat sedikit. Ketika harta menjadi tujuan, maka rambu-rambu Allah dan Rasul-Nya pun tak dihiraukan. Ketika kedudukan menjadi sasaran, sering cara apapun dihalalkan. Uang menjadi tuhan baru.

Ketika dalam kondisi demikian, tiba-tiba Allah memanggil, adakah kita meninggalkan semua itu demi memenuhi panggilan-Nya? Ketika kita sedang asik dan fokus pada proyek kita, adakah kita mau meninggalkannya demi memenuhi rambu-rambu-Nya?

Tak ada sekutu bagi-Nya.
Tak ada yang lebih penting selain panggilan-Nya.
Tak ada yang berhak dituhankan selain Dia.

Itulah sejatinya makna berkurban yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim a.s. Tauhid, mengesakan Allah. Dialah satu-satunya yang patut dipatuhi, dicintai, dirindui. Hanya Allahlah yang kepadanya kita memasrahkan diri kita untuk didominasi oleh-Nya. Sehingga kita meninggalkan apapun yang dilarang-Nya. Dan mengerjakan apapun yang diperintahkan-Nya....... Ya, apapun!  

Dengan pemahaman itulah maka kita maklum kenapa Nabi Ibrahim a.s. melaksanakan perintah Allah untuk menyembelih anaknya Ismail a.s. Karena dia mau menyembelih kecintaannya kepada anaknya demi kecintaannya kepada Allah saja.

Dengan pemahaman itulah kita bisa memahami kenapa Ismail a.s. menyerahkan dirinya dan mempersilakan ayahnya Ibrahim a.s. untuk menyembelih dirinya demi memenuhi perintah Allah. Karena dia mau memupus kecintaannya kepada diri sendiri, demi kecintaannya kepada Allah saja.

”Ayah, engkau akan saksikan, insya Allah aku termasuk orang yang sabar.” katanya. Sabar dalam menjalankan perintah Allah. Seberat apapun. Betapapun iblis, setan jin dan manusia menghalanginya.

Jadi Idul Adha bukan sekedar berbagi daging kepada para duafa. Apalagi pesta sate, tongseng, dan gulai kambing. Idul Adha adalah kembali mengesakan Allah. Tauhid. Demi memantaskan wajah kita menjumpai wajah-Nya.

Fa man kaana yarju liqo-a robbihi, fal ya’mal amalan sholihan wa la yusyrik bi ’ibaadati robbihii akhada. ”Barangsiapa ingin berjumpa dengan Tuhannya, maka hendaklah ia beramal sholeh dan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dalam beribadah kepada-Nya.”

Tidakkah kita benar-benar merindukan bertemu dengan-Nya?

Cikarang Baru, 17 November 2010/11 Dzulhijjah 1431 H

Selasa, 09 November 2010

Menunggu Tapi Tak Membosankan

Menunggu itu membosankan. Kita sering mendengar kalimat ini. Menunggu itu paling gak enak. Juga kalimat ini. Makanya kita paling kesel kalau janjian sama teman pada jam yang sudah ditetapkan, lalu sang teman tak kunjung datang.

”Ayo berangkat, lebih baik menunggu daripada ditunggu.” demikian sering istriku berkata jika punya janji dengan seseorang. Hihihi... kalau kita paling gak enak menunggu, eh, dia malah bilang lebih baik menunggu daripada ditunggu. Rupanya jalan berfikirnya: kan menunggu itu nyebelin, makanya jangan bikin orang sebel gara-gara capek menunggu kita. Berarti kita dong nanti yang sebel, karena nungguin dia yang tak kunjung tiba.

Memang idealnya paling enak kalau dua-duanya on time. Jadi gak ada yang ditunggu, gak ada yang menunggu.

By the way, apa iya sih menunggu itu selalu menyebalkan? Kok , istri saya mau ya disebelin dengan aktivitas menunggu.

Ternyata ada juga menunggu yang tak menyebalkan. Ada beberapa aktivitas kita yang tak bisa menghindar dari yang namanya menunggu ini. Saat ke bank, saya sering sudah prediksi kalau saya pasti akan ngantri panjang. Maka sejak dari rumah saya selalu menyiapkan buku bacaan, yang kira-kira kalau dibaca sejam dua jam gak habis.

Maka ketika ngantri di bank, saya bisa membaca puluhan halaman buku. Dan tiba-tiba saya sudah berdiri di depan teller dan mendengar sapaan ramah Bu Teller, ”Silakan, Pak.”

Ketika menjemput istri dari rumah bekam, saya juga menyelipkan buku di mobil. Saya ingat pesan istri, ”Dari pada ditunggu, mendingan menunggu.” Daripada istri nungguin jemputan, lebih baik saya yang mengalah menunggu dia di ruang tunggu rumah bekam.
Dan selama menunggu itu saya bisa membaca beberapa halaman buku.

Sering saya melihat dalam antrian panjang di sebuah bank. Kok, bisa ya banyak orang yang berdiri satu jam atau lebih tidak berbuat apa-apa selain menunggu kakinya bergerak selangkah demi selangkah. Sesekali sih memang ada menerima telpon atau kirim SMS. Tapi lebih banyak bengongnya daripada beraktivitas. Tapi di wajahnya tak ada raut kebosanan berdiri menunggu. Entah dalam hatinya.

Meskipun demikian, ketika ditanya, enakan mana ngantri atau langsung dilayani? Pasti dia memilih langsung dilayani. Berarti ada kebosanan selama dia menunggu. Sayangnya beberapa aktivitas kita tidak bisa lepas dari yang namanya menunggu. Di rumah sakit kita menunggu, di kantor Samsat juga menunggu, di Posyandu juga menunggu, di loket pembayaran listrik nunggu juga, mau nyoblos pilkada juga nunggu giliran, menunggu kereta dan penerbangan yang sering ngaret jamnya.

Pengendara mobil dan motor juga suka menunggu kereta lewat, menunggu lampu hijau. Penjaga warung menunggu pembeli, karyawan menunggu gajian dan THR dan lain-lain.

Jadi sebenarnya membunuh kebosanan itulah yang harus dilakukan. Bukan menghindari yang namanya menunggu itu sendiri, karena memang tak mungkin. Bahkan hidup kita ini sebenarnya juga adalah penantian panjang menuju pertemuan dengan Allah sang Khaliq. Makanya dalam penantian ini kita harus pandai-pandai mengisi waktu kita, sehingga tidak bosan.

Ketika bosan dan kita ingin hindari aktivitas menunggu itu, maka bisa jadi kita bunuh diri demi membunuh kebosanan itu. Dan contoh ini sangat banyak. Orang bosan hidup, karena capek menunggu untuk jadi kaya dan sukses, lalu bunuh diri. Orang bosan menunggu jadi pejabat, lalu pake jalan pintas. Dan ketika gagal, dia bunuh diri karena emoh menunggu lagi.

Coba kalau masa penantian ini kita gunakan untuk aktivitas yang bermanfaat. Pasti hidup ini jadi indah. Tentu tak hanya manfaat sesaat, tapi manfaat jangka panjang. Tak hanya panjang, tapi sangat panjang. Tak hanya manfaat selama hidup di dunia, tapi sampai akhirat.

Aktivitas yang tak memanjakan syahwat tapi lalu menuai laknat. Tapi aktivitas yang memanjakan hati dan ruhani, sehingga menuai ridho Ilahi. Aktivitas membaca tanda-tanda keberadaan Allah, dengan menyibukkan diri beramal sholeh dan tidak  menyekutukan-Nya dengan yang lain. Maka masa menunggu ini menjadi indah dan tak membosankan. .... Lalu tiba-tiba tanpa terasa kita sudah berada di depan pintu-Nya dan dipanggil, ”Silakan, Pak.”

Cikarang Baru, 9 November 2010
Choirul Asyhar
*Sambil menulis catatan ini, terngiang ayat Allah di QS. Al Kahfi : 110

Rabu, 03 November 2010

Belajar Wirausaha Itu Wajib

Sebagian Buku Dagangan Anakku
Belajar wirausaha bagi anak-anak menurutku adalah wajib. Karena itu anak-anakku harus belajar wirausaha. Belajar tidak berarti harus baca buku teori yang bejibun itu. Belajar berarti tidak harus dapat sertifikat. Belajar artinya langsung praktek. Karena praktek lebih nyata dari pada teori yang baru bisa jadi imajinasi.

Maka ketika anakku gemar membaca buku cerita anak-anak terbitan Mizan. Maka ketika aku tahu ternyata teman-temannya juga menggemari buku ini. Maka ketika anakku merengek minta dibelikan terbitan terbaru buku cerita itu, aku katakan:
”Ayo jualan buku. Setiap laku sepuluh kamu dapat hadiah 1 buku.”
Anakku ternyata menyambut antusias. ”Gimana caranya?” tanyanya.
”Ayah harus menyiapkan buku-bukunya dulu, dong?” lanjutnya.
”Tak perlu, kamu bawa katalog buku. Kamu tawarkan ke teman-temanmu.” saranku.

Alhamdulillah, aku punya teman yang punya toko buku. Aku minta katalog dari temanku itu. Maka jualan bukupun dimulai. Bahkan sebelum katalog ada di tangan anakku!

Rupanya anakku yang juga aktifis facebook sudah banyak mengupload gambar-gambar cover buku yang mau dijual di wall-nya. Dia download gambar-gambar itu dari facebook penerbit. Memang belum ada status yang isinya menjual. Adanya hanya menunjukkan kesukaannya kepada buku-buku itu. Teman-temannyapun memberi komentar. Isinya juga bukan untuk membeli tentu saja. Tapi menunjukkan like dan keinginannya untuk membaca buku itu.

Maka ketika dia mengumumkan jualan buku –meskipun tanpa katalog- sudah banyak teman-temannya yang pesan. Kini giliranku yang harus merogoh uang untuk membelikannya di toko buku temanku. Anakku sudah memulai kenapa aku tidak mensupport memodalinya. Apalagi pembelinya sudah ada. Hari ini dibeli, esok atau lusa sudah jadi uang lagi, pikirku.

Maka dalam sepekan, anakku sudah dapat 1 buku gratis. Karena dia sudah menjual 12 buku.
”Berarti kalau aku jual 8 lagi, aku dapat 1 buku gratis lagi, Yah?” tanyanya.
”Iya, dong.” Dan tanpa menunggu sepekan kemudian, anakku sudah dapat 1 lagi buku gratis. Dan sebentar lagi, kayaknya dia bakal dapat buku gratis ketiganya.

Wow, fantastik.
”Hari ini jangan bawa buku dagangan.” kata Ibunya tadi pagi.
”Akan ada razia di sekolah. Selain buku sekolah, akan disita.” lanjutnya. Ibunya memang seorang guru sekolah yang bernaung di yayasan yang sama dengan sekolah anakku. Mungkin Ibunya dapat bocoran.

Sambil menyelesaikan tilawah Quran-ku pagi ini, aku geleng-geleng kepala mendengarnya. Di dalam hati aku berdoa semoga peraturan sekolah ini tidak membunuh benih-benih wirausaha yang kusemai pada diri anakku yang kini sudah mulai bertunas itu.

Cikarang Baru, 3 November 2010 

Kamis, 21 Oktober 2010

"KOMEDI"

Inilah yang banyak terjadi di negeri ini. Maka pantaslah Indonesia disebut sebagai panggung komedi. Banyak hal lucu terjadi di negeri ini. Lucu sekaligus memprihatinkan. Kalau tidak mau menyebut menyedihkan.


Mau mencari ilmu di internet, nyangkut pula virus perusak komputer. Mau nyari gambar masjid, muncul pula gambar aurat perempuan.  Mau pengen pinter baca koran, dapatnya penyesatan opini.  Mau nonton berita di TV dapat pula iklan sinetron picisan.  Mau kasih hiburan anak dengan film kartun, ternyata tokoh kartunnya ngomong jorok. Pagi TV menyajikan pengajian, malam mengobrak-abrik syahwat penonton.

Rasa-rasanya berbuat baik menjadi sangat sulit di negeri ini.  Mau bersedekah, ternyata ditipu lembaga fiktif.  Mau memberi tumpangan motor, motorpun raib direbut si penumpang.  Mau membantu biaya sekolah sang anak, uangnya dibelikan rokok bapaknya.

Rasanya hidup sehat menjadi sulit di negeri ini.  Makan tempe yang kaya protein dan asam amino esensial ternyata kedelenya mengandung bleaching agent.  Makan tahu yang juga sehat karena berbahan baku kedele, ternyata mengandung formalin.  Minum jus dalam kemasan, yang katanya asli ternyata cuma minum air plus rasa dan flavornya doang.  Makan ikan karena pengen mendapatkan asupan omega 3 ternyata justru kemasukan bahan pengawet.

Demikian juga dengan mencari nafkah.  Mau jadi pegawai negeri yang harusnya penghasilannya halal, jadi haram karena masuknya harus nyogok.  Selain itu gajinya juga berasal dari pajak yang sebagiannya dipungut dari bisnis maksiat.  Mau jadi pegawai swasta yang seharusnya halal, ternyata pemiliknya juga punya pabrik bir dan aktif berjudi yang bisa jadi sesekali mensubsidi gaji karyawan pada saat-saat diperlukan.

Para pejabat juga lucu-lucu.  Katanya mau memberantas korupsi, tapi tetap menerima setoran dari bawahannya.  Katanya mengucurkan dana pendidikan, tapi memotong10% untuk kantongnya sendiri.  Katanya dana serifikasi guru sudah ada, tapi masih disimpan nongkrong lama di rekening bendahara.  Katanya tak mau menerima suap, tapi mendiamkan bawahannya melaksanakan praktek suap-menyuap.

Nafsu menyedot uang rakyat juga besar sekali.  Ketika banyak sarjana di wisuda, pemerintah tak bisa menyediakan lapangan kerja.  Maka ketika sarjana yang capek nyari kerja itu berhasil membuka lapangan kerja dengan inisiatif sendiri, dana sendiri, jatuh bangun sendiri, pemerintah baru datang  Bukan untuk memberi selamat dan semangat, tapi memungut pajak dan uang preman.

”Alangkah Lucunya (negeri ini)”, maka pantas Deddy Mizwar membuat film ini. Seorang pengangguran harus menelan pahitnya kenyataan ketika menyaksikan sendiri komplotan pencopet yang tanpa beban mengambil uang orang lain dari kantongnya tanpa disadari. Tanpa beban –karena dilakukan dengan santai, lihai, akrobatik dan ”menghibur” dirinya sendiri. Sementara si sarjana pengangguran ini sudah dua tahun belum berhasil mendapatkan pekerjaan yang layak sesuai dengan latar belakang pendidikannya.

Ketika gemas, si sarjana menangkap si pencopet.
”Enak aja mengambil punya orang. Bukankah kamu bisa minta baik-baik?!” hardik si sarjana sambil memiting si pencopet.
”Saya kan pencopet, Bang. Bukan peminta-minta.” jawab pencopet kalem. Jawaban kalem inipun menusuk keprihatinan si sarjana. Maka dengan pelahan dilepasnya si pencopet.

Masya Allah, profesional juga si pencopet. Dia menghayati pekerjaannya makanya dia tidak mau melakukan yang lain seperti meminta-minta misalnya. Tujuannya adalah mencopet! Apapun dilakukan demi mencopet. Ada yang berpura-pura menjadi anak sekolah, ada yang berpura-pura jadi ABG ngabuburit di mall, ada yang nyamar jadi anak-anak pasar yang lalu lalang. Semua punya tujuan yang sama: mencopet.

Maka ketika si sarjana, pusing nyari pekerjaan gak dapat-dapat, dia mengajukan diri menjadi konsultan manajemen bagi kelompok copet itu.  Dia mengelola keuangan para pencopet sehingga kelompok copet ini bisa punya tabungan dan aset sebuah sepeda motor sebagai kendaraan operasional si sarjana. Tak hanya itu si sarjana ternyata juga berhasil memberi pekerjaan dua orang temannya yang selama ini juga menganggur. Seorang sarjana pendidikan ditugasinya mengajar calistung para pencopet itu. Juga seorang anak kyai yang ditugasi mengajarkan agama bagi para pencopet itu.

Untuk jerih payah mereka, ketiga anak muda itu mendapatkan gaji berupa komisi 10% dari uang hasil kerja komplotan pencopet itu.

Pekerjaan mereka halal, tapi sayang digaji dengan uang haram. Gambaran dalam film ini sangat hitam putih, sehingga kita mudah melihatnya  Tapi bagaimana dengan yang abu-abu, dan ini banyak terjadi di negeri ini. Pekerjaannya profesional dan halal, tapi caranya bisa saja menjadikan pekerjaan halal itu menghasilkan uang haram.

Saya tak hendak menyebutkan contoh, karena jumlahnya bertebaran di sekitar kita. Bahkan meskipun sebagiannya abu-abu, jika kita menggunakan kaca mata hati yang jernih, dia akan tampak hitam-putih.

Cikarang Baru, 21 Oktober 2010
Catatan ini dibuat untuk memperingati 1 tahun rezim SBY-Budiono, dan juga 6 tahun kepemimpinan SBY di negeri ini.  Catatan ini juga bukan untuk mereka, karena kecil kemungkinan mereka membacanya. Apalagi ”bacaan” dari Sabang sampai Merauke sudah tampak nyata.  Bagaimanapun, semoga catatan ini bermanfaat buat semua calon pemimpin, termasuk kita sebagai peminpin rumah tangga.

Selasa, 19 Oktober 2010

KKPK

Kecil-Kecil Punya Karya. Itu kepanjangan dari KKPK. Buku serial terbitan Dar!Mizan.
Isinya cerita anak-anak dan remaja ABG. Anak-anak banyak tergila-gila dengan buku ini. Termasuk anakku yang klas 5 SD.

Sukses dengan KKPK, penerbit yang sama menerbitkan serial Pink Berry Club. Kalau KKPK untuk anak usia 8 – 12 tahun, PBC untuk anak remaja di atas 12 tahun. Meskipun demikian anak-anak usia di bawahnya tetap menyukainya. Termasuk anakku.

Yang menarik adalah buku-buku ini menanamkan nilai-nilai kebaikan. Berarti kebaikan pun laku dijual jika dikemas dalam kemasan kreatif dan indah. Tidak seperti buku komik Jepang terbitan sebuah penerbit besar yang banyak menjual dan mengumbar pergaualan bebas dan pornografi agar digandrungi anak-anak remaja ABG, dan anehnya beredar bebas di jaringan toko buku terbesar di Indonesia.

Kembali ke KKPK.
Beberapa hari ini anakku selalu merengek minta dibelikan KKPK dan PBC. Katanya untuk koleksi bukunya. Dari isinya insya Allah tak mengkhawatirkan. Tapi dari segi dompetku tentu mengerikan. Maka sambil lalu aku mengatakan bahwa kalau dia bisa jual 10 buku, aku akan kasih 1 gratis untuk menambah koleksinya. Itung-itung mengenalkan dia etos kerja sebelum memperoleh sesuatu.

Tuingg....!
Gayung bersambut. Segera anakku informasikan ke teman-temannya bahwa dia jualan KKPK dan PBC. Awalnya teman-temannya minta lihat-lihat dulu beberapa judul. Tentu saja tak bisa kupenuhi. Aku tak mungkin menyediakan barang dagangan di rumah. Lalu anakku browsing internet dan dia mendapatkan banyak gambar cover buku-buku itu. Di uploadnya di akun FB-nya. Temannya mulai pesan. Dicatatnya buku apa dipesan siapa.
Lalu terkumpul 12 judul, dalam waktu kurang dari 3 hari.

Segera aku pesan buku-buku itu ke teman yang punya bisnis buku. Dua hari kemudian buku-buku itu sudah di tangannya. Kulihat matanya berbinar penuh semangat berangkat sekolah hari itu. Meskipun tas ranselnya jadi tampak lebih berat daripada biasanya. Sementara di tangannya juga masih menenteng tas mukena.

”Hati-hati pegang uangnya.” kataku saat mengantarnya sekolah.
”Hanya yang bayar yang dikasih buku, ya Yah?” katanya mengulangi ajaranku.
Maka dalam 3 hari habislah buku-buku itu. Dan sebelum habis, anakku sudah mencatat lagi 13 pemesan. Dan kini tinggal 3 buku di tangan karena temannya belum bawa uang. Tentu saja setelah dikurangi buku bonus miliknya. Untuk mengapresiasi prestasinya ini saya menyebutnya dengan KKPK pula. ”Apa Yah?” tanyanya. ”Kecil-Kecil Punya Kios.” jawabku.

Kini anakku semangat menjajakan buku-bukunya. Tentu karena semakin lama semakin banyak yang tau, dan semakin banyak yang datang sendiri memesan buku. Tak hanya anak-anak, beberapa guru juga mulai tau. Apalagi setelah buku catatan penjualan anakku diminta (baca: disita) wali kelasnya....  Untuk yang terakhir ini sayangnya tidak menggembirakan. Karena bukan pujian dan dorongan semangat yang didapat, tapi bahkan kabarnya akan ada peringatan. Karena di sekolah murid tidak boleh berjualan. 

Saya sedang berfikir mencari jalan keluar menyalurkan minat ini....
Ada saran?

Cikarang Baru, 19 Oktober 2010.

Selasa, 14 September 2010

Selingan: Fun and Funny


Sebagai selingan, yuk belajar bahasa Inggris, yuk. Siapa tahu kita ketemu David Becham.

Vocabulary

fun
funny
Fun” is a noun but “funny” is an adjective.
We use “fun” like this:
It was fun.
It was really good fun.
I had a lot of fun.
We had a lot of fun.
Did you have fun?
It is difficult to translate. How do you translate it in your language?
Funny means “it makes you laugh” but it has two separate nuances. It can also mean “strange” or “weird” so when somebody says:
That was funny.
We say:
“Do you mean funny-strange or funny-haha?”
Funny-strange
means
“weird”
or
“unusual”
and
Funny-haha
means
“it makes you laugh”.
When we enjoyed something, we do not say:
It was funny.
We say:
It was fun.
or
I had a a good time.
or
I had fun
or
I enjoyed it
or
I enjoyed myself.
“It was funny” has quite a different meaning. In fact it has two meanings:
“It made me laugh”
or
“It was strange”.

Kamis, 02 September 2010

Game Online

Telpon di kantor bimbel IbnuSina berdering. Saya mengangkatnya. Saya lihat jam dinding menunjukkan jam 9.30 malam.
"Assalamu'alaikum." kalimat pembuka saya. Yang diseberang sana menjawabnya. Lalu disambung dengan pertanyaan.
"Pak, Budi (bukan nama sebenarnya) sudah pulang les, Pak?" Tanyanya panik, sehingga lupa memperkenalkan dirinya, bahwa dia Ibu si Budi. 
Saya kaget. Bukan karena sudah jelas jam segini les sudah bubaran satu jam yang lalu. Tapi, kaget karena sudah sebulan ini Budi tidak datang les di tempat saya. Kalau tidak musim ulangan, memang ada murid yang males belajar. Jadi saya kurang aktif kros cek ke orang tua perihal absen mereka. 
"Maaf, Bu. Budi sudah sebulan ini tidak les."
"Apa, Pak? Masak, dia setiap hari pamitan les, lho, Pak!" 
"Tadi temannya bilang, ketemu Budi di depan warnet." Tanpa banyak bicara Ibu Budi segera menutup pembicaraannya. Ada nada geram di seberang sana.
Ini bukan pertama kali terjadi di bimbel saya. Beberapa bulan sebelumnya, ada laporan yang sama dari seorang murid. Dan saya saat itu langsung menghubungi orang tuanya. Dan orang tuanya benar-benar kaget dengan penjelasan ini.
Game Online memang sudah seperti candu baru di lingkungan kita. Anak-anak tidak gaul kalau tidak mengenal game online. Di kelas obrolan murid-murid juga sekitar istilah-istilah dalam game online itu. Anak-anak jadi tidak bisa konsentrasi belajar. Bahkan di masjid pun, sebelum dan sesudah shalat, anak-anak juga ngobrolin prestasinya dalam game online. Permainan ini sungguh meresahkan. Memboroskan uang. Menurunkan prestasi belajar. Bahkan mungkin juga membuat anak-anak berani menilep uang les-nya. 
Orang tua resah, tapi makin banyak saja warnet game online di Cikarang Baru ini. Di Rusa Raya saja ada lebih dari 3 warnet yang salah satu menunya pasti game online itu. Di ruko Gardenia, tak kurang dari 3. Di Ruko Anggrek juga demikian. Belum lagi yang ada di rumah-rumah pemukiman.
"Ayah, buka warnet aja, yah..." saran anak saya empat tahun yang lalu. Dia tahu bisnis ini bisa jadi sumber uang. 
"Ayah gak pengen. Kasihan sama anak-anak yang nantinya jadi lupa waktu. Lupa belajar." jawab saya waktu itu.
"Ya, itu kan urusan mereka." jawab anak saya.
"Ooo, gak boleh begitu. Kita kalau bisnis jangan cuma cari keuntungan saja. Lihat dampak lainnya juga. Ayah ikut berdosa kalau mereka melalaikan waktu gara-gara nongkrong di warnet." 
Kini Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Kominfo RI  Gatot S. Dewo Broto mengatakan, game online sama bahayanya dengan situs porno yang meresahkan masyarakat. 
"Jika Anda atau anggota masyarakat lain merasa gerah, resah, khawatir, atau terganggu dengan maraknya game online, silakan saja sampaikan pengaduan ke penegak hukum. Dan penegak hukumlah yang berkoordinasi dengan kami di Kominfo dan para penyelenggara ISP," katanya.
Depkominfo melalui Direktur Pemberdayaan Telematika Departemen Komunikasi dan Informatika RI menyampaikan bahwa tidak sedikit pecandu games online yang sakit-sakitan, bahkan hingga membawa korbannya kepada kematian akibat tidak mengenal waktu dalam mengakses permainan itu.
Senang saya mendengar niat baik pemerintah ini. Bahkan katanya game online dengan situs porno telah diatur sama dalam peraturan undang-undang. Sebenarnya, lanjutnya, yang diatur dalam UU ITE, pada Pasal 27 hingga Pasal 35 adalah berisi larangan konten yang terkait dengan pencemaran nama baik, perjudian, pornografi, SARA, dan sebagainya.

"Terkait game online, bisa masuk ke ranah perjudian. Itu tidak boleh diselancarkan di ranah internet, hukumnya haram," kata Gatot S. Dewa Broto (Hidayatullah.com, Sabtu (28/08)).

Pihaknya meminta agar masyarakat aktif memberikan masukan kepada pemerintah terkait hak-hak yang tidak mengenakkan dan meresahkan.

Umumnya game online yang diakses atau play station yang digemari anak-anak banyak mengandung unsur kekerasan. Akumulasi dari interaksi dengan game berunsur kekerasan itu akan mempengaruhi kepribadian mereka dan membentuk mereka menjadi suka marah dan temperamental.

Minggu, 27 Juni 2010

10 > 16

Setelah maghrib anakku Adnan minta uang gopek. Dari jauh terdengar suara melengking bunyi uap tukang kue putu. Adnan, 6 th, memang doyan kue putu.
”Ayah, aku minta uang gopek.” katanya.
”Untuk apa?” tanyaku.
”Beli kue putu satu.” jawabnya.

Oke, tanpa banyak berdebat aku kasih dia uang gopek. Alasannya pertama karena uang gopek itu uang kecil. Yang kedua kue putu termasuk makanan jajanan yang sehat.
Setelah kuberi gopek, Adnan kabur keluar rumah sambil berteriak nyaring memanggil tukang kue putu. Suara nyaringnya menyaingi suara lengkingan uap kue putu.

Tak berapa lama kemudian Adnan balik lagi dengan tangan hampa.
”Ayah, kue putunya seribuan!” keluhnya.
”Ah... masak seribu??” tanyaku.
”Iya, kata abangnya.” jawabnya.
Karena kasihan melihat mukanya yang kecewa, kurogoh kantongku. Ada uang delapan ribu.
”Udah, beli delapan ribu.” kataku.
Adnan senang lari kabur meninggalkanku. ”Bang....!” teriaknya kepada abang tukang kue outu.

Di dalam rumah aku masih tak percaya harga kue putu sekarang seribu. Sedemikian tinggikan inflasi di negeriku ini. Aku nguping obrolan Adnan dengan tukang kue putu. Kudengar delapan ribu dapat enam belas potong. Lha berarti satunya gopek dong. Kataku dalam hati. Lalu aku menyimpulkan si abang tadi menghargai seribu karena Adnan Cuma mau beli satu potong. Sementara biaya produksinya satu, dua, tiga atau empat potong sama saja. Sekali masak uapnya menyembul dari 4 lubang. Aku lalu maklum dengan perhitungan si abang.

Sambil membawa masuk 16 potong kue putu Adnan bilang: tadi abangnya bilang seribu itu untuk 2 potong. ”Jadi gak boleh beli satu, Yah.” jelasnya. Aku sekali lagi maklum.

Baru menyantap satu potong terdengar Adzan Isya’
”Ayo, sholat dulu.” kataku.
”Jangan dimakan ya...!” kata Adnan kepada kakak sulungnya yang gak sholat karena sedang mendapat tamu bulanan. ”Sampai kita semua pulang dari masjid.” lanjutnya.

Berangkat ke masjid, Adnan melihat tukang putu di pengkolan jalan.
”Yah, kalau lima ribu dapat berapa?” tanyanya.
”Ya, sepuluh.” jawabku.
”Lebih banyak dong....” katanya. Maksudnya daripada 16 potong yang dia beli dengan uang delapan ribunya itu.
”Ah, masak?” kataku sambil ngetes.
”Emang sepuluh sama enam belas banyakan mana?” tanyaku.
”Sepuluh dong!” katanya sambil terus berjalan menuju masjid.
Aku elus kepalanya sambil gemes juga. Adnan tadi pagi menerima rapot kenaikan kelas. Dia naik ke kelas 2 dan dapat ranking 3 di kelasnya. Tadi pagi aku bangga, lha sekarang kok gak tahu mana lebih besar sepuluh atau enam belas.

”Iya, kan yah....” katanya lagi. Lalu sambil terus melangkah menyebarangi lapangan futsal dia berhitung:

”Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan .....” terus dia diam sejenak. Lalu dilanjutkan ”...... ENAM BELAS, sebelas, dua belas, tiga belas, empat belas, lima belas, SEPULUH!”

Aku tersenyum dengan akal-akalannya.
”Iya, kan yah!” katanya.

Ku elus kepala gundulnya. Aku jadi teringat seorang teman pengusaha kuliner yang juga suka membolak-balik urutan angka. Ketika membuka warung bakso yang ke dua, dia tulis di spanduknya CABANG ke-3. Ketika ditanya warung yang pertama di mana? Dia menjawab di suatu tempat. Terus yang kedua di mana?

”Yang kedua baru mau di buka, tapi lokasi yang saya incar belum dapat.” jawabnya ringan.
”Berarti ini yang kedua dong....!”

Rupanya dia menganut paham ketidakteraturan. Masalah urutan itu kan hanya kesepakatan umum. Boleh saja memberi nama warung ke-3 untuk warungnya yang ke-2. Warung ke-10 untuk warungnya yang ke-4 dan sebagainya. Ini katanya aliran otak kanan. Imajinatif. Tidak harus mengikuti pakem pada umumnya.

Katanya pengusaha sukses kebanyakan dominan peran otak kanannya. Jika iya, semoga anakku Adnan nanti jadi pengusaha sukses. Tak peduli sisi mana yang dominan dari otaknya. Harapan saya sih, peran hatinya yang dominan.

Cikarang Baru, 14 Rajab 1431/27 Juni 2010   

Sabtu, 22 Mei 2010

PERSIAPAN

Sebelum bertanding, anakku yang karateka selalu menyiapkan diri jauh-jauh hari. Latihan 3-4 kali sepekan itu sudah biasa. Saya melihatnya sampai heran kok gak cape-capenya dia. Demi tujuan yang jelas, menang dalam pertandingan, maka persiapanpun dilakukan dengan ringan.

Setahun sebelum UN, sekolah-sekolah juga telah membekali murid-muridnya dengan bimbel tambahan. Di luar jam sekolah, mereka dibekali dengan berbagai macam soal-soal try out. Demi lulus gemilang di UN yang sering menakutkan itu. Keinginan lulus UN, menyemangati murid-murid untuk mempersiapkan diri dengan baik.

Demikian juga dengan kita yang mau pulang kampung menjelang lebaran. Dua bulan sebelum lebaran, tiket bis, kereta dan pesawat terbang sudah ludes dibeli para calom pemudik. Ini salah satu persiapan yang dilakukan disamping persiapan-persiapan lainnya.

Persiapan memang harus dilakukan agar tujuan kita tercapai. Jangan mengalir seperti air yang kemanapun ada tempat lebih rendah kesitulah dia mengalir. Hidup di dunia ini juga sebuah perjalanan. Perjalanan menuju kehidupan selanjutnya. Bahkan hidup didunia ini hanya sebuah jembatan saja. Sepanjang apapun jembatan itu, dia jauh lebih pendek daripada daratan yang kesana kita menuju. Selama apapun umur kita di dunia, itu hanya sekejap mata bagi kehidupan kekal di ’daratan’ akhirat nanti.

Maka, selayaknyalah kehidupan yang singkat ini kita penuhi hari-harinya dengan persiapan demi persiapan. Berbenah setiap hari. Masukkan ’baju-baju kita’ ke koper, karena setiap saat mobil travel akan datang menjemput. Jangan lena, walau sekejap. Masukkan selalu baju amal sholeh kita di koper besar kehidupan kita. Pertahankan kualitasnya dengan kamper iman. Lalu selalu perbaharui iman kita dengan siraman ayat-ayat-Nya agar dia tetap menyebarkan aroma wanginya. Pupuk dia dengan nasihat Nabi dan para sahabat agar dia tetap segar.

Kemanapun kita pergi di bumi Allah ini, itu adalah masih dalam rangkaian penantian menunggu travel jemputan yang dikemudikan oleh sang Izrail. Maka bersiap siaga adalah gambaran yang tepat. Seperti tentara yang siap siaga kapanpun saja diperintahkan komandan maju ke medan perang.

Menjelang pulang kampung selalu kita menyiapkan yang terbaik untuk dibawa ke sana.
Kemeja terbaik, gaun terbaik, parfum terbaik, HP terbaik, motor terbaik, mobil terbaik. Meskipun tidak baru, kondisinya sangat prima. Syukur kalau bisa baru. Kalau orang kampung menganggap pamer, biarlah toh ini adalah hasil kerja kita di perantauan.

Jangan salah melakukan persiapan dengan memasukkan bekal buruk kedalam kopor kita, nanti tak berguna. Cuma capek dan pegal kita membawanya. Seorang koruptor telah merencanakan dan mempersiapkan perbuatannya dengan matang. Agar sukses menjadi koruptor kaya. Tapi sesungguhnya dia telah salah memasukkan bekal ke dalam kopor besarnya menuju ’daratan’ akhirat yang sangat luas. Yang tentu saja memerlukan bekal yang terbaik dan dalam jumlah yang cukup.

Bersiap siagalah. Siapa tahu sebentar lagi travel itu datang menjemput.

Cikarang Baru, 22 Mei 2010

Tulisan ini dibuat setelah membaca berita tentang dua orang pezina yang mati saat berzina di sebuah hotel di Depok. Mereka mati akibat zinanya yang telah dipersiapkan dengan matang. Mereka overdosis obat kuat. Mereka telah memasukkan bekal yang salah ke dalam koper perjalanan panjangnya ketika tiba-tiba mobil travel malaikat Izroil datang menjemput. Naudzubillahi min dzalika.

Senin, 19 April 2010

SEIMBANG

Ketika membeli beras kita pasti mau beras yang kita beli beratnya benar. Artinya berat anak timbangan milik pedagang beras sama dengan berat beras yang bakal jadi milik kita. Itu berarti berat beras seimbang dengan berat anak timbangan. Selanjutnya uang yang kita berikan kepada pedagang seimbang dengan barang yang kita beli.

Hidup ini memang harus dalam keseimbangan. Seimbang antara menerima dan memberi. Seimbang antara belajar dan mengajar. Seimbang antara membaca dan menulis. Seimbang antara menyerap ilmu dan beramal. Seimbang antara konsumsi perut dan konsumsi otak. Seimbang antara kecerdasan otak dan kelurusan hati.

Ada sedikit saja yang tak seimbang, maka akan njomplang. Seperti timbangan itu.
Ketika manusia silau dengan kehebatan fisik, tanpa mempertimbangkan kecemerlangan otak, maka muncullah tokoh-tokoh idola dari selebritis di film-film laga. Ketika masyarakat silau dengan keindahan fisik, tanpa memperhitungkan keindahan akhlak maka lahirlah pendapat-pendapat miring. Njomplang. Tak berimbang.

Demikian pula ketika demi perjuangan demokrasi, lalu demokrasi dipraktrekkan tanpa nilai dan norma yang sudah berakar dalam adat, budaya dan agama masyarakat maka terjebaklah kita dalam totalitarianisme.

Allah dan Rasul-Nya mengajar kita doa keseimbangan ini. Rabbanaa aatinaa fiddunya hasanah wa fil aakhiroti hasanah. Wa qinaa ’adzaa bannaar. Ini adalah permohonann untuk mendapatkan kebaikan hidup di dunia dan di akhirat. Bukan cuma hebat di dunia tapi njomplang di akhirat. Atau sebaliknya, pasrah tak berdaya di dunia dan berharap sukses di akhirat. Atau malah lebih parah lagi: di dunia sengsara dihukum oleh manusia, di akhirat oleh Allah dikuatkan pula hukumannya.

Si Fulan pulang dari masjid setelah shalat berjamaah. Di perjalanan bertemu dengan temannya.
”Wah mulai rajin, nih, shalatnya.” tegur temannya
”Alhamdulillah, iya dong. Hidup kan harus seimbang, jangan bisnis mulu, lupa shalat.” jawab Fulan
”Aku juga shalat di rumah.” kilah temannya.
”Aku mau mengejar ketertinggalan. Shalat di masjid nilainya lebih dari 27x shalat sendirian. Ke masjid nilai keutamaannya sangat tinggi. Berpahala dan menggugurkan dosa.” Fulan menjelaskan alasannya.
Temannya tersenyum mendengarnya sambil mengangguk-angguk kecil.

Rupanya Fulan tau benar bagaimana cara cepat menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhiratnya. Temannya mudah-mudahan faham bahwa caranya sangat lambat untuk mencapai keseimbangan itu. 

Cikarang Baru, 4 Jumadil Ula 1430H/ 19 April 2010


Tulisan ini juga bisa dibaca di facebook