Kamis, 21 Oktober 2010

"KOMEDI"

Inilah yang banyak terjadi di negeri ini. Maka pantaslah Indonesia disebut sebagai panggung komedi. Banyak hal lucu terjadi di negeri ini. Lucu sekaligus memprihatinkan. Kalau tidak mau menyebut menyedihkan.


Mau mencari ilmu di internet, nyangkut pula virus perusak komputer. Mau nyari gambar masjid, muncul pula gambar aurat perempuan.  Mau pengen pinter baca koran, dapatnya penyesatan opini.  Mau nonton berita di TV dapat pula iklan sinetron picisan.  Mau kasih hiburan anak dengan film kartun, ternyata tokoh kartunnya ngomong jorok. Pagi TV menyajikan pengajian, malam mengobrak-abrik syahwat penonton.

Rasa-rasanya berbuat baik menjadi sangat sulit di negeri ini.  Mau bersedekah, ternyata ditipu lembaga fiktif.  Mau memberi tumpangan motor, motorpun raib direbut si penumpang.  Mau membantu biaya sekolah sang anak, uangnya dibelikan rokok bapaknya.

Rasanya hidup sehat menjadi sulit di negeri ini.  Makan tempe yang kaya protein dan asam amino esensial ternyata kedelenya mengandung bleaching agent.  Makan tahu yang juga sehat karena berbahan baku kedele, ternyata mengandung formalin.  Minum jus dalam kemasan, yang katanya asli ternyata cuma minum air plus rasa dan flavornya doang.  Makan ikan karena pengen mendapatkan asupan omega 3 ternyata justru kemasukan bahan pengawet.

Demikian juga dengan mencari nafkah.  Mau jadi pegawai negeri yang harusnya penghasilannya halal, jadi haram karena masuknya harus nyogok.  Selain itu gajinya juga berasal dari pajak yang sebagiannya dipungut dari bisnis maksiat.  Mau jadi pegawai swasta yang seharusnya halal, ternyata pemiliknya juga punya pabrik bir dan aktif berjudi yang bisa jadi sesekali mensubsidi gaji karyawan pada saat-saat diperlukan.

Para pejabat juga lucu-lucu.  Katanya mau memberantas korupsi, tapi tetap menerima setoran dari bawahannya.  Katanya mengucurkan dana pendidikan, tapi memotong10% untuk kantongnya sendiri.  Katanya dana serifikasi guru sudah ada, tapi masih disimpan nongkrong lama di rekening bendahara.  Katanya tak mau menerima suap, tapi mendiamkan bawahannya melaksanakan praktek suap-menyuap.

Nafsu menyedot uang rakyat juga besar sekali.  Ketika banyak sarjana di wisuda, pemerintah tak bisa menyediakan lapangan kerja.  Maka ketika sarjana yang capek nyari kerja itu berhasil membuka lapangan kerja dengan inisiatif sendiri, dana sendiri, jatuh bangun sendiri, pemerintah baru datang  Bukan untuk memberi selamat dan semangat, tapi memungut pajak dan uang preman.

”Alangkah Lucunya (negeri ini)”, maka pantas Deddy Mizwar membuat film ini. Seorang pengangguran harus menelan pahitnya kenyataan ketika menyaksikan sendiri komplotan pencopet yang tanpa beban mengambil uang orang lain dari kantongnya tanpa disadari. Tanpa beban –karena dilakukan dengan santai, lihai, akrobatik dan ”menghibur” dirinya sendiri. Sementara si sarjana pengangguran ini sudah dua tahun belum berhasil mendapatkan pekerjaan yang layak sesuai dengan latar belakang pendidikannya.

Ketika gemas, si sarjana menangkap si pencopet.
”Enak aja mengambil punya orang. Bukankah kamu bisa minta baik-baik?!” hardik si sarjana sambil memiting si pencopet.
”Saya kan pencopet, Bang. Bukan peminta-minta.” jawab pencopet kalem. Jawaban kalem inipun menusuk keprihatinan si sarjana. Maka dengan pelahan dilepasnya si pencopet.

Masya Allah, profesional juga si pencopet. Dia menghayati pekerjaannya makanya dia tidak mau melakukan yang lain seperti meminta-minta misalnya. Tujuannya adalah mencopet! Apapun dilakukan demi mencopet. Ada yang berpura-pura menjadi anak sekolah, ada yang berpura-pura jadi ABG ngabuburit di mall, ada yang nyamar jadi anak-anak pasar yang lalu lalang. Semua punya tujuan yang sama: mencopet.

Maka ketika si sarjana, pusing nyari pekerjaan gak dapat-dapat, dia mengajukan diri menjadi konsultan manajemen bagi kelompok copet itu.  Dia mengelola keuangan para pencopet sehingga kelompok copet ini bisa punya tabungan dan aset sebuah sepeda motor sebagai kendaraan operasional si sarjana. Tak hanya itu si sarjana ternyata juga berhasil memberi pekerjaan dua orang temannya yang selama ini juga menganggur. Seorang sarjana pendidikan ditugasinya mengajar calistung para pencopet itu. Juga seorang anak kyai yang ditugasi mengajarkan agama bagi para pencopet itu.

Untuk jerih payah mereka, ketiga anak muda itu mendapatkan gaji berupa komisi 10% dari uang hasil kerja komplotan pencopet itu.

Pekerjaan mereka halal, tapi sayang digaji dengan uang haram. Gambaran dalam film ini sangat hitam putih, sehingga kita mudah melihatnya  Tapi bagaimana dengan yang abu-abu, dan ini banyak terjadi di negeri ini. Pekerjaannya profesional dan halal, tapi caranya bisa saja menjadikan pekerjaan halal itu menghasilkan uang haram.

Saya tak hendak menyebutkan contoh, karena jumlahnya bertebaran di sekitar kita. Bahkan meskipun sebagiannya abu-abu, jika kita menggunakan kaca mata hati yang jernih, dia akan tampak hitam-putih.

Cikarang Baru, 21 Oktober 2010
Catatan ini dibuat untuk memperingati 1 tahun rezim SBY-Budiono, dan juga 6 tahun kepemimpinan SBY di negeri ini.  Catatan ini juga bukan untuk mereka, karena kecil kemungkinan mereka membacanya. Apalagi ”bacaan” dari Sabang sampai Merauke sudah tampak nyata.  Bagaimanapun, semoga catatan ini bermanfaat buat semua calon pemimpin, termasuk kita sebagai peminpin rumah tangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar