Kamis, 18 November 2010

Qurban, Sate dan Gule Kambing

Semoga ketaqwaan kita sampai kepada Allah
Idul Adha identik dengan daging kambing dan sapi. Di Arab Saudi juga unta. Karena pada hari ini dan hari tasyrik sebagian kaum muslimin memotong hewan kurban. Melaksanakan sunnah Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Muhammad s.a.w. Lalu dagingnya dibagi-bagikan kepada fakir miskin dan masyarakat sekitar. 

Idul Adha identik dengan daging kambing dan sapi ataupun unta. Maka di facebook banyak yang statusnya berisi tentang sate, tongseng dan gule kambing. Pesta makan-makan dan bakar-bakar. Panggang kepala sapi dan kambing. Sop buntut dan kikil.

Kalau ada yang bernuansa lain, itu adalah tentang kepedulian sosial dengan membagi-bagikan daging kurban ke fakir miskin, yatim piatu dan para duafa lainnya.

Sebentar .... saya berhenti menulis dulu. Di TV sedang ada berita orang-orang miskin berebut daging kurban di depan sebuah kantor sebuah partai politik. Para perempuan tua dan anak-anak tergencet. Di sana-sini hiruk pikuk suara tangis. Sementara dari belakang sana ratusan massa terus mendorong menggencet orang-orang yang sudah berada di depan pagar tinggi yang cuma dibuka 80 cm dan dijaga satpam. Wajah kemiskinan di negeriku nampak nyata pada saat-saat seperti ini. 

Meski sayangnya belum ketemu cara yang memanusiakan, Idul Adha jadi identik dengan kegiatan sosial. Aspek ruhiyahnya terdegrasi. Aspek hablumminallah-nya terpinggirkan. Tertutup dengan aspek sosial, kepedulian dan silaturahim warga sebuah perumahan. Tidak salah memang, hanya saja makna ruhiyahnya yang palig penting kok justru terlupakan.

Padahal penyembelihan Ismail a.s. tak sekedar pengorbangan, tapi juga kepatuhan kepada Allah. Kepatuhan kepada Allah adalah segala-galanya. Mengalahkan cinta kepada anak. Mengalahkan cinta Ibrahim a.s. kepada anak satu-satunya –saat itu, yaitu Ismail.

Ketika cinta kepada anak dan istri berlebihan, sering mengalahkan cinta kita kepada Allah. Ketika cinta kepada harta berlebihan, sering menyita waktu kita untuk tak bersimpuh di haribaan Allah. Kecuali pada sisa-sisa waktu yang sangat sedikit. Ketika harta menjadi tujuan, maka rambu-rambu Allah dan Rasul-Nya pun tak dihiraukan. Ketika kedudukan menjadi sasaran, sering cara apapun dihalalkan. Uang menjadi tuhan baru.

Ketika dalam kondisi demikian, tiba-tiba Allah memanggil, adakah kita meninggalkan semua itu demi memenuhi panggilan-Nya? Ketika kita sedang asik dan fokus pada proyek kita, adakah kita mau meninggalkannya demi memenuhi rambu-rambu-Nya?

Tak ada sekutu bagi-Nya.
Tak ada yang lebih penting selain panggilan-Nya.
Tak ada yang berhak dituhankan selain Dia.

Itulah sejatinya makna berkurban yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim a.s. Tauhid, mengesakan Allah. Dialah satu-satunya yang patut dipatuhi, dicintai, dirindui. Hanya Allahlah yang kepadanya kita memasrahkan diri kita untuk didominasi oleh-Nya. Sehingga kita meninggalkan apapun yang dilarang-Nya. Dan mengerjakan apapun yang diperintahkan-Nya....... Ya, apapun!  

Dengan pemahaman itulah maka kita maklum kenapa Nabi Ibrahim a.s. melaksanakan perintah Allah untuk menyembelih anaknya Ismail a.s. Karena dia mau menyembelih kecintaannya kepada anaknya demi kecintaannya kepada Allah saja.

Dengan pemahaman itulah kita bisa memahami kenapa Ismail a.s. menyerahkan dirinya dan mempersilakan ayahnya Ibrahim a.s. untuk menyembelih dirinya demi memenuhi perintah Allah. Karena dia mau memupus kecintaannya kepada diri sendiri, demi kecintaannya kepada Allah saja.

”Ayah, engkau akan saksikan, insya Allah aku termasuk orang yang sabar.” katanya. Sabar dalam menjalankan perintah Allah. Seberat apapun. Betapapun iblis, setan jin dan manusia menghalanginya.

Jadi Idul Adha bukan sekedar berbagi daging kepada para duafa. Apalagi pesta sate, tongseng, dan gulai kambing. Idul Adha adalah kembali mengesakan Allah. Tauhid. Demi memantaskan wajah kita menjumpai wajah-Nya.

Fa man kaana yarju liqo-a robbihi, fal ya’mal amalan sholihan wa la yusyrik bi ’ibaadati robbihii akhada. ”Barangsiapa ingin berjumpa dengan Tuhannya, maka hendaklah ia beramal sholeh dan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dalam beribadah kepada-Nya.”

Tidakkah kita benar-benar merindukan bertemu dengan-Nya?

Cikarang Baru, 17 November 2010/11 Dzulhijjah 1431 H

Selasa, 09 November 2010

Menunggu Tapi Tak Membosankan

Menunggu itu membosankan. Kita sering mendengar kalimat ini. Menunggu itu paling gak enak. Juga kalimat ini. Makanya kita paling kesel kalau janjian sama teman pada jam yang sudah ditetapkan, lalu sang teman tak kunjung datang.

”Ayo berangkat, lebih baik menunggu daripada ditunggu.” demikian sering istriku berkata jika punya janji dengan seseorang. Hihihi... kalau kita paling gak enak menunggu, eh, dia malah bilang lebih baik menunggu daripada ditunggu. Rupanya jalan berfikirnya: kan menunggu itu nyebelin, makanya jangan bikin orang sebel gara-gara capek menunggu kita. Berarti kita dong nanti yang sebel, karena nungguin dia yang tak kunjung tiba.

Memang idealnya paling enak kalau dua-duanya on time. Jadi gak ada yang ditunggu, gak ada yang menunggu.

By the way, apa iya sih menunggu itu selalu menyebalkan? Kok , istri saya mau ya disebelin dengan aktivitas menunggu.

Ternyata ada juga menunggu yang tak menyebalkan. Ada beberapa aktivitas kita yang tak bisa menghindar dari yang namanya menunggu ini. Saat ke bank, saya sering sudah prediksi kalau saya pasti akan ngantri panjang. Maka sejak dari rumah saya selalu menyiapkan buku bacaan, yang kira-kira kalau dibaca sejam dua jam gak habis.

Maka ketika ngantri di bank, saya bisa membaca puluhan halaman buku. Dan tiba-tiba saya sudah berdiri di depan teller dan mendengar sapaan ramah Bu Teller, ”Silakan, Pak.”

Ketika menjemput istri dari rumah bekam, saya juga menyelipkan buku di mobil. Saya ingat pesan istri, ”Dari pada ditunggu, mendingan menunggu.” Daripada istri nungguin jemputan, lebih baik saya yang mengalah menunggu dia di ruang tunggu rumah bekam.
Dan selama menunggu itu saya bisa membaca beberapa halaman buku.

Sering saya melihat dalam antrian panjang di sebuah bank. Kok, bisa ya banyak orang yang berdiri satu jam atau lebih tidak berbuat apa-apa selain menunggu kakinya bergerak selangkah demi selangkah. Sesekali sih memang ada menerima telpon atau kirim SMS. Tapi lebih banyak bengongnya daripada beraktivitas. Tapi di wajahnya tak ada raut kebosanan berdiri menunggu. Entah dalam hatinya.

Meskipun demikian, ketika ditanya, enakan mana ngantri atau langsung dilayani? Pasti dia memilih langsung dilayani. Berarti ada kebosanan selama dia menunggu. Sayangnya beberapa aktivitas kita tidak bisa lepas dari yang namanya menunggu. Di rumah sakit kita menunggu, di kantor Samsat juga menunggu, di Posyandu juga menunggu, di loket pembayaran listrik nunggu juga, mau nyoblos pilkada juga nunggu giliran, menunggu kereta dan penerbangan yang sering ngaret jamnya.

Pengendara mobil dan motor juga suka menunggu kereta lewat, menunggu lampu hijau. Penjaga warung menunggu pembeli, karyawan menunggu gajian dan THR dan lain-lain.

Jadi sebenarnya membunuh kebosanan itulah yang harus dilakukan. Bukan menghindari yang namanya menunggu itu sendiri, karena memang tak mungkin. Bahkan hidup kita ini sebenarnya juga adalah penantian panjang menuju pertemuan dengan Allah sang Khaliq. Makanya dalam penantian ini kita harus pandai-pandai mengisi waktu kita, sehingga tidak bosan.

Ketika bosan dan kita ingin hindari aktivitas menunggu itu, maka bisa jadi kita bunuh diri demi membunuh kebosanan itu. Dan contoh ini sangat banyak. Orang bosan hidup, karena capek menunggu untuk jadi kaya dan sukses, lalu bunuh diri. Orang bosan menunggu jadi pejabat, lalu pake jalan pintas. Dan ketika gagal, dia bunuh diri karena emoh menunggu lagi.

Coba kalau masa penantian ini kita gunakan untuk aktivitas yang bermanfaat. Pasti hidup ini jadi indah. Tentu tak hanya manfaat sesaat, tapi manfaat jangka panjang. Tak hanya panjang, tapi sangat panjang. Tak hanya manfaat selama hidup di dunia, tapi sampai akhirat.

Aktivitas yang tak memanjakan syahwat tapi lalu menuai laknat. Tapi aktivitas yang memanjakan hati dan ruhani, sehingga menuai ridho Ilahi. Aktivitas membaca tanda-tanda keberadaan Allah, dengan menyibukkan diri beramal sholeh dan tidak  menyekutukan-Nya dengan yang lain. Maka masa menunggu ini menjadi indah dan tak membosankan. .... Lalu tiba-tiba tanpa terasa kita sudah berada di depan pintu-Nya dan dipanggil, ”Silakan, Pak.”

Cikarang Baru, 9 November 2010
Choirul Asyhar
*Sambil menulis catatan ini, terngiang ayat Allah di QS. Al Kahfi : 110

Rabu, 03 November 2010

Belajar Wirausaha Itu Wajib

Sebagian Buku Dagangan Anakku
Belajar wirausaha bagi anak-anak menurutku adalah wajib. Karena itu anak-anakku harus belajar wirausaha. Belajar tidak berarti harus baca buku teori yang bejibun itu. Belajar berarti tidak harus dapat sertifikat. Belajar artinya langsung praktek. Karena praktek lebih nyata dari pada teori yang baru bisa jadi imajinasi.

Maka ketika anakku gemar membaca buku cerita anak-anak terbitan Mizan. Maka ketika aku tahu ternyata teman-temannya juga menggemari buku ini. Maka ketika anakku merengek minta dibelikan terbitan terbaru buku cerita itu, aku katakan:
”Ayo jualan buku. Setiap laku sepuluh kamu dapat hadiah 1 buku.”
Anakku ternyata menyambut antusias. ”Gimana caranya?” tanyanya.
”Ayah harus menyiapkan buku-bukunya dulu, dong?” lanjutnya.
”Tak perlu, kamu bawa katalog buku. Kamu tawarkan ke teman-temanmu.” saranku.

Alhamdulillah, aku punya teman yang punya toko buku. Aku minta katalog dari temanku itu. Maka jualan bukupun dimulai. Bahkan sebelum katalog ada di tangan anakku!

Rupanya anakku yang juga aktifis facebook sudah banyak mengupload gambar-gambar cover buku yang mau dijual di wall-nya. Dia download gambar-gambar itu dari facebook penerbit. Memang belum ada status yang isinya menjual. Adanya hanya menunjukkan kesukaannya kepada buku-buku itu. Teman-temannyapun memberi komentar. Isinya juga bukan untuk membeli tentu saja. Tapi menunjukkan like dan keinginannya untuk membaca buku itu.

Maka ketika dia mengumumkan jualan buku –meskipun tanpa katalog- sudah banyak teman-temannya yang pesan. Kini giliranku yang harus merogoh uang untuk membelikannya di toko buku temanku. Anakku sudah memulai kenapa aku tidak mensupport memodalinya. Apalagi pembelinya sudah ada. Hari ini dibeli, esok atau lusa sudah jadi uang lagi, pikirku.

Maka dalam sepekan, anakku sudah dapat 1 buku gratis. Karena dia sudah menjual 12 buku.
”Berarti kalau aku jual 8 lagi, aku dapat 1 buku gratis lagi, Yah?” tanyanya.
”Iya, dong.” Dan tanpa menunggu sepekan kemudian, anakku sudah dapat 1 lagi buku gratis. Dan sebentar lagi, kayaknya dia bakal dapat buku gratis ketiganya.

Wow, fantastik.
”Hari ini jangan bawa buku dagangan.” kata Ibunya tadi pagi.
”Akan ada razia di sekolah. Selain buku sekolah, akan disita.” lanjutnya. Ibunya memang seorang guru sekolah yang bernaung di yayasan yang sama dengan sekolah anakku. Mungkin Ibunya dapat bocoran.

Sambil menyelesaikan tilawah Quran-ku pagi ini, aku geleng-geleng kepala mendengarnya. Di dalam hati aku berdoa semoga peraturan sekolah ini tidak membunuh benih-benih wirausaha yang kusemai pada diri anakku yang kini sudah mulai bertunas itu.

Cikarang Baru, 3 November 2010