Selasa, 09 November 2010

Menunggu Tapi Tak Membosankan

Menunggu itu membosankan. Kita sering mendengar kalimat ini. Menunggu itu paling gak enak. Juga kalimat ini. Makanya kita paling kesel kalau janjian sama teman pada jam yang sudah ditetapkan, lalu sang teman tak kunjung datang.

”Ayo berangkat, lebih baik menunggu daripada ditunggu.” demikian sering istriku berkata jika punya janji dengan seseorang. Hihihi... kalau kita paling gak enak menunggu, eh, dia malah bilang lebih baik menunggu daripada ditunggu. Rupanya jalan berfikirnya: kan menunggu itu nyebelin, makanya jangan bikin orang sebel gara-gara capek menunggu kita. Berarti kita dong nanti yang sebel, karena nungguin dia yang tak kunjung tiba.

Memang idealnya paling enak kalau dua-duanya on time. Jadi gak ada yang ditunggu, gak ada yang menunggu.

By the way, apa iya sih menunggu itu selalu menyebalkan? Kok , istri saya mau ya disebelin dengan aktivitas menunggu.

Ternyata ada juga menunggu yang tak menyebalkan. Ada beberapa aktivitas kita yang tak bisa menghindar dari yang namanya menunggu ini. Saat ke bank, saya sering sudah prediksi kalau saya pasti akan ngantri panjang. Maka sejak dari rumah saya selalu menyiapkan buku bacaan, yang kira-kira kalau dibaca sejam dua jam gak habis.

Maka ketika ngantri di bank, saya bisa membaca puluhan halaman buku. Dan tiba-tiba saya sudah berdiri di depan teller dan mendengar sapaan ramah Bu Teller, ”Silakan, Pak.”

Ketika menjemput istri dari rumah bekam, saya juga menyelipkan buku di mobil. Saya ingat pesan istri, ”Dari pada ditunggu, mendingan menunggu.” Daripada istri nungguin jemputan, lebih baik saya yang mengalah menunggu dia di ruang tunggu rumah bekam.
Dan selama menunggu itu saya bisa membaca beberapa halaman buku.

Sering saya melihat dalam antrian panjang di sebuah bank. Kok, bisa ya banyak orang yang berdiri satu jam atau lebih tidak berbuat apa-apa selain menunggu kakinya bergerak selangkah demi selangkah. Sesekali sih memang ada menerima telpon atau kirim SMS. Tapi lebih banyak bengongnya daripada beraktivitas. Tapi di wajahnya tak ada raut kebosanan berdiri menunggu. Entah dalam hatinya.

Meskipun demikian, ketika ditanya, enakan mana ngantri atau langsung dilayani? Pasti dia memilih langsung dilayani. Berarti ada kebosanan selama dia menunggu. Sayangnya beberapa aktivitas kita tidak bisa lepas dari yang namanya menunggu. Di rumah sakit kita menunggu, di kantor Samsat juga menunggu, di Posyandu juga menunggu, di loket pembayaran listrik nunggu juga, mau nyoblos pilkada juga nunggu giliran, menunggu kereta dan penerbangan yang sering ngaret jamnya.

Pengendara mobil dan motor juga suka menunggu kereta lewat, menunggu lampu hijau. Penjaga warung menunggu pembeli, karyawan menunggu gajian dan THR dan lain-lain.

Jadi sebenarnya membunuh kebosanan itulah yang harus dilakukan. Bukan menghindari yang namanya menunggu itu sendiri, karena memang tak mungkin. Bahkan hidup kita ini sebenarnya juga adalah penantian panjang menuju pertemuan dengan Allah sang Khaliq. Makanya dalam penantian ini kita harus pandai-pandai mengisi waktu kita, sehingga tidak bosan.

Ketika bosan dan kita ingin hindari aktivitas menunggu itu, maka bisa jadi kita bunuh diri demi membunuh kebosanan itu. Dan contoh ini sangat banyak. Orang bosan hidup, karena capek menunggu untuk jadi kaya dan sukses, lalu bunuh diri. Orang bosan menunggu jadi pejabat, lalu pake jalan pintas. Dan ketika gagal, dia bunuh diri karena emoh menunggu lagi.

Coba kalau masa penantian ini kita gunakan untuk aktivitas yang bermanfaat. Pasti hidup ini jadi indah. Tentu tak hanya manfaat sesaat, tapi manfaat jangka panjang. Tak hanya panjang, tapi sangat panjang. Tak hanya manfaat selama hidup di dunia, tapi sampai akhirat.

Aktivitas yang tak memanjakan syahwat tapi lalu menuai laknat. Tapi aktivitas yang memanjakan hati dan ruhani, sehingga menuai ridho Ilahi. Aktivitas membaca tanda-tanda keberadaan Allah, dengan menyibukkan diri beramal sholeh dan tidak  menyekutukan-Nya dengan yang lain. Maka masa menunggu ini menjadi indah dan tak membosankan. .... Lalu tiba-tiba tanpa terasa kita sudah berada di depan pintu-Nya dan dipanggil, ”Silakan, Pak.”

Cikarang Baru, 9 November 2010
Choirul Asyhar
*Sambil menulis catatan ini, terngiang ayat Allah di QS. Al Kahfi : 110

Tidak ada komentar:

Posting Komentar