Kamis, 02 September 2010

Game Online

Telpon di kantor bimbel IbnuSina berdering. Saya mengangkatnya. Saya lihat jam dinding menunjukkan jam 9.30 malam.
"Assalamu'alaikum." kalimat pembuka saya. Yang diseberang sana menjawabnya. Lalu disambung dengan pertanyaan.
"Pak, Budi (bukan nama sebenarnya) sudah pulang les, Pak?" Tanyanya panik, sehingga lupa memperkenalkan dirinya, bahwa dia Ibu si Budi. 
Saya kaget. Bukan karena sudah jelas jam segini les sudah bubaran satu jam yang lalu. Tapi, kaget karena sudah sebulan ini Budi tidak datang les di tempat saya. Kalau tidak musim ulangan, memang ada murid yang males belajar. Jadi saya kurang aktif kros cek ke orang tua perihal absen mereka. 
"Maaf, Bu. Budi sudah sebulan ini tidak les."
"Apa, Pak? Masak, dia setiap hari pamitan les, lho, Pak!" 
"Tadi temannya bilang, ketemu Budi di depan warnet." Tanpa banyak bicara Ibu Budi segera menutup pembicaraannya. Ada nada geram di seberang sana.
Ini bukan pertama kali terjadi di bimbel saya. Beberapa bulan sebelumnya, ada laporan yang sama dari seorang murid. Dan saya saat itu langsung menghubungi orang tuanya. Dan orang tuanya benar-benar kaget dengan penjelasan ini.
Game Online memang sudah seperti candu baru di lingkungan kita. Anak-anak tidak gaul kalau tidak mengenal game online. Di kelas obrolan murid-murid juga sekitar istilah-istilah dalam game online itu. Anak-anak jadi tidak bisa konsentrasi belajar. Bahkan di masjid pun, sebelum dan sesudah shalat, anak-anak juga ngobrolin prestasinya dalam game online. Permainan ini sungguh meresahkan. Memboroskan uang. Menurunkan prestasi belajar. Bahkan mungkin juga membuat anak-anak berani menilep uang les-nya. 
Orang tua resah, tapi makin banyak saja warnet game online di Cikarang Baru ini. Di Rusa Raya saja ada lebih dari 3 warnet yang salah satu menunya pasti game online itu. Di ruko Gardenia, tak kurang dari 3. Di Ruko Anggrek juga demikian. Belum lagi yang ada di rumah-rumah pemukiman.
"Ayah, buka warnet aja, yah..." saran anak saya empat tahun yang lalu. Dia tahu bisnis ini bisa jadi sumber uang. 
"Ayah gak pengen. Kasihan sama anak-anak yang nantinya jadi lupa waktu. Lupa belajar." jawab saya waktu itu.
"Ya, itu kan urusan mereka." jawab anak saya.
"Ooo, gak boleh begitu. Kita kalau bisnis jangan cuma cari keuntungan saja. Lihat dampak lainnya juga. Ayah ikut berdosa kalau mereka melalaikan waktu gara-gara nongkrong di warnet." 
Kini Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Kominfo RI  Gatot S. Dewo Broto mengatakan, game online sama bahayanya dengan situs porno yang meresahkan masyarakat. 
"Jika Anda atau anggota masyarakat lain merasa gerah, resah, khawatir, atau terganggu dengan maraknya game online, silakan saja sampaikan pengaduan ke penegak hukum. Dan penegak hukumlah yang berkoordinasi dengan kami di Kominfo dan para penyelenggara ISP," katanya.
Depkominfo melalui Direktur Pemberdayaan Telematika Departemen Komunikasi dan Informatika RI menyampaikan bahwa tidak sedikit pecandu games online yang sakit-sakitan, bahkan hingga membawa korbannya kepada kematian akibat tidak mengenal waktu dalam mengakses permainan itu.
Senang saya mendengar niat baik pemerintah ini. Bahkan katanya game online dengan situs porno telah diatur sama dalam peraturan undang-undang. Sebenarnya, lanjutnya, yang diatur dalam UU ITE, pada Pasal 27 hingga Pasal 35 adalah berisi larangan konten yang terkait dengan pencemaran nama baik, perjudian, pornografi, SARA, dan sebagainya.

"Terkait game online, bisa masuk ke ranah perjudian. Itu tidak boleh diselancarkan di ranah internet, hukumnya haram," kata Gatot S. Dewa Broto (Hidayatullah.com, Sabtu (28/08)).

Pihaknya meminta agar masyarakat aktif memberikan masukan kepada pemerintah terkait hak-hak yang tidak mengenakkan dan meresahkan.

Umumnya game online yang diakses atau play station yang digemari anak-anak banyak mengandung unsur kekerasan. Akumulasi dari interaksi dengan game berunsur kekerasan itu akan mempengaruhi kepribadian mereka dan membentuk mereka menjadi suka marah dan temperamental.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar