Selasa, 22 Desember 2009

Bisnis Anakku

Entah aku harus bilang apa.

Kemarin karena sakit, sejak subuh aku tidur lagi sampai dhuhur. Dua orang anakku berangkat ke sekolah naik ojek. Biasanya aku yang mengantarkan mereka. Kemarin tidak, bahkan aku juga gak kasih uang jajan.

Pulang sekolah anakku yang kecil, 5 tahun, membawa 2 stiker Yu-gi-oh baru untuk ditempel di bukunya. Aku paling kesel kalau dia beli stiker atau kartu-kartunya pakai uang jajannya. Bagiku jajan itu ya makanan. Tapi bagi anakku mainan itu jajan juga.

Tiung….! Sebelum marah, aku teringat dari mana dia dapat uang untuk beli stiker?

“Adnan jualan makanan, Yah!” jelas Athaya, kakaknya.

“Makanan apa?” tanyaku.

“Yang kemarin, Yah.” Jelas Athaya lagi.

O, ya aku teringat kemarin mereka menengok sepupunya di Jakarta. Setiap bepergian, di mobil selalu siap snack dan minuman. Kalau tidak, mereka akan suntuk dan berantem sepanjang jalan. Ada kacang, wafer, biscuit atau pilus dan lain-lain.

Nah, kemarin ada sisa beberapa bungkus. Dan itulah yang dijual anak bungsuku.

“Adnan bawa tiga. Yang satu dimakan, yang dua dijual gopekan…” kini Adnan menjelaskan. Jadi dia dapat uang seribu rupiah. Dan uang itu yang dipakai untuk beli dua buah stiker.

Aku gak jadi marah. Aku tersenyum. Bangga dengan potensi berbisnisnya.

Ini bukan yang pertama dilakukan oleh Adnan.

Dia juga pernah menjual koleksi kartu-kartunya. Awalnya karena aku dan ibunya marah karena hampir setiap hari dia jajan kartu sepulang sekolah.

“Yah, kartuku sudah gak ada lagi… tinggal ini.” Katanya suatu hari sambil menunjukkan beberapa lembar kartu saja di tangannya.

“Emang pada dikemanain?” tanyaku.

“Adnan jual!” katanya bangga.

“Berapa harganya?” tanyaku.

“Seribu dapat sepuluh.” Jawabnya.

“Lho, belinya dulu berapa?” tanyaku.

“Seribu dapat lima.” Jawabnya.

“Rugi dong!” kataku.

“Biar cepet abis… kan Ayah gak suka kalau banyak kartu di rumah.”

Aku terdiam, ada senyuman sedikit dibibirku. Menjual memerlukan keberanian tersendiri. Ini sudah lebih berharga daripada harga kartu yang dijual rugi. Lagian ini belum tentu rugi, karena semuanya kartu bekas.

Kemarin sore saya bertanya kepadanya bagaimana dia menawarkan dagangannya.

Dia mempraktekkan, “Teman, aku punya makanan. Mau nggak kamu beli makananku?”

“Waktu jual kartu gimana caranya?” tanyaku.

“Gampang, Yah…. Bilang aja, teman-teman aku punya kartu, mau beli nggak?”

Entahlah aku mau bilang apa… senang tapi juga khawatir.

Ada kekhawatiran, jangan-jangan ada yang berkomentar negatif. Misalnya anak kecil kok sudah cari duit. Siapa tuh yang ngajarin, kalau bukan ayahnya. Anak kecil kok gak dikasih uang jajan, sampai jual-jual mainan dan makanannya sendiri.

Tapi…. biarin aja, deh…

Kekhawatiran itu aku pupus. Toh, belum terjadi, ngapain dipikirin.

Maka… pagi ini anak-anakku membekali dirinya dengan beberapa teh gelas produksi kami. Adnan membawa 3 gelas. Satu gelas untuk dirinya, dua gelas untuk dijual. Athaya membawa 4 gelas. Satu untuk dirinya sendiri, satu diberikan gratis untuk teman akrabnya dan dua untuk dijual. Hasil penjualannya akan jadi uang jajan. Mereka belajar tentang tujuan yang jelas…. Agar bisa jajan, ya jualan. Ada reason!

Kini, dengan menulis petualangan bisnis anak-anakku ini, ….. aku tak peduli lagi Anda mau bilang apa kepada bapak ndableg seperti aku ini. Mudah-mudahan sih komentarnya positif (minimal aku akan menjadikannya positif, apapun komentar Anda).

Cikarang Baru, 5 Muharram 1431 H/22 Desember 2009

1 komentar:

  1. Pada usia dini, resistensi internal masih sangat kecil dan adaptasi masih sangat fleksible, diibaratkan bahkan Tarzan bisa bicara dengan hewan karena adaptasi dari kecil.
    Taukek atau Cukong mengenalkan bisnisnya pada turunannya semenjak kecil untuk kemudian mewariskannya setelah dewasa.

    BalasHapus