Senin, 28 November 2011

Dilema Kemarau


Musim kemarau agaknya masih panjang. Hujan yang turun sejak awal bulan ini, ternyata hanya sesekali. Yang banyak adalah panas kemarau yang terik di berbagai belahan daerah di Indonesia. Kalau sudah panas menyengat, banyak berita sawah kekeringan, dan ternak kekurangan air minum. Gambar tanah retak banyak menghiasi koran, majalh dan TV.

Lalu teringat Rasulullah mengajarkan kita melaksanakan istisqo'. Sholat minta hujan. Umat Islam berbondong-bondong ke lapangan melaksanakan shalat sunnah dan berdoa agar Allah segera menurunkan hujan.

Kalau sedang musim kemarau begini memang panas terik serasa siksaan. Maka guyuran hujan menjadi rahmat yang dinanti-nantikan. Maka shalat istisqo menjadi andalan. Dan di beberapa daerah, terlihat mulai turun hujan.

Hujan adalah rahmat. Hujan adalah kebaikan. Ini yang banyak kita baca di Al Quran. Hujan akan menghidupkan bumi yang mati. Tanah yang tandus. Hasil pertanian yang kerontang.

Tapi di negeri ini, Indonesia, sebagian kita ragu mengakui hujan adalah rahmat. Karena saat musim hujan justru banyak penduduk yang rumahnya terendam air. Lalu mereka mengungsi ke tempat tinggi. Di tenda, di sekolah, di masjid. Dengan fasilitas yang tak juga membaik dari tahun ke tahun. Meskipun banjir sudah jadi langganan. Maka setelah banjir ada saja korbannya. Kerusakan bangunan, penyakit, bahkan jiwa.

Maka di saat kemarau seperti ini. Doa kita sering tak tulus dimohonkan kepada Allah. Meskipun di satu sisi kita rindu dengan guyuran hujan. Di sisi lain, kita takut kebanjiran. Maka doapun tak dilantunkan dengan lepas. Maka Allahpun memperpanjang kemarau di negeri ini.

Inikah dilema doa di Indonesia?
Inikah namanya keberkahan yang mulai dicabut?
Kenapa?

"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa, pasti Kami (Allah) akan membukakan keberkahan dari langit dan bumi." (Al A'raf : 96)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar