Kamis, 29 Maret 2012

DEMONSTRASI DEMOKRASI

foto.inilah.com
Demontrasi itu biasa di negara demokrasi. Demokrasi sah-sah saja di negara demokrasi. Kalimat ini sering kita dengar keluar dari mulut pejabat pemerintah, ketika menanggapi ancaman demonstrasi yang dilontarkan oleh kelompok demonstran.

Jadi demonstrasi itu adalah biasa dan boleh-boleh saja dilakukan di sebuah negara yang menganut demokrasi. Bahkan bisa saja dikatakan bahwa negara yang mengaku demokratis masih diragukan kedemokratisannya jika tidak ada demonstrasi. Atau dengan kata lain semakin banyak demontrasi semakin demokratislah negara itu.

Benarkah demikian?
Jadi demonstrasi adalah wujud demokrasi? Rakyat bebas berbuat apa saja karena negara ini milik rakyat? Pemerintah demokratis harus mengizinkan permohonan demonstrasi karena negara ini rakyat yang akan berdemonstrasi itu?

Kalau demikian gambaran demokrasi, maka betapa negara demokrasi telah membuka ruang ketidakberadaban kemanusiaan. Rakyat bebas berdemo –bahkan dengan anarkis-  sementara polisi dan tentara tidak boleh terpancing. Karena jika terpancing maka cap represif akan segera menempel di jidatnya.
Rakyat bebas menolak keputusan pemerintah dengan berdemonstrasi menyampaikan perasaannya. Dan pemerintah bebas memutuskan kebijakannya, toh ruang ketidaksetujuan melalui demo terbuka lebar.

Saya yakin ini adalah ekses. Apalagi dengan dalih rakyat memilih langsung presidennya maka rakyat bebas pula menurunkan presidennya. Tentu tidak demikian. Karena di negara demokratis ada parlemen yang merupakan wujud perwakilan rakyat. Kalau rakyat mempercayakan aspirasinya di pundak para wakilnya maka tak perlulah terjadi demonstrasi. Demokrasi tak perlu diwujudkan dalam bentuk demonstrasi di jalanan. Cukuplah demokrasi terwujud di gedung parlemen.

Lalu kenapa terjadi demonstrasi? Paling tidak ada tiga hal yang melatarbelakanginya.
1.      Karena wakil rakyat tak pandai membaca aspirasi rakyat. Wakil rakyat seharusnya mewakili konstituennya. Suara yang keluar dari mulutnya adalah hasil serapan aspirasi rakyat. Suara wakil rakyat seharusnya adalah senada dengan suara rakyat.
2.      Karena pemerintah tak peduli dengan suara wakil rakyat. Ketika wakil rakyat seia sekata dengan rakyatnya, bisa jadi pemerintah tak peduli. Karena pemerintah meyakini apa yang diputuskannya adalah demi kemajuan negara yang dipimpinnya. Yang akhirnya menghasilkan kesejahteraan rakyat. Sayangnya kebijakan demikian sering tak mudah dipahami oleh rakyat yang berfikir sederhana. Sementara pemerintah selalu berfikir njelimet dan teoretis yang sering tak mudah dicerna akal rakyatnya.
3.      Karena rakyat tak sabar melihat perjuangan wakil rakyat. Perjuangan wakil rakyat tak mudah, karena limaratusan wakil rakyat menikmati cara berfikirnya masing-masing, sehingga sikap wakil rakyat tak bisa segera disuarakan. Bisa jadi wakil rakyat bekerja benar, dengan memperhatikan berbagai sudut pandang. Semua wakil rakyat berdalih mewakili aspirasi rakyat, tapi yang keluar dari mulut mereka bisa berbeda-beda.

Intinya, terjadi gap antara bahasa wakil rakyat, pemerintah dan rakyatnya. Jika demikian maka semua bergerak sendiri-sendiri. Wakil rakyat geram terhadap rakyatnya yang tak sabar. Wakil rakyat juga pusing melihat pemerintah yang berfikiran aneh. Sementara rakyat juga tak lagi memiliki kepercayaan kepada wakilnya dan juga pemerintahnya. Pemerintah juga pusing kenapa kemauan ‘baik’nya tak mudah dipahami rakyat dan wakilnya.

Maka demonstrasi menjadi pilihan.
Maka demonstrasi bisa menjadi pemaksaan kehendak.
Maka pandangan wakil rakyat bisa pula dianggap pemaksaan kehendak.
Maka meredam demonstrasi oleh aparat pemerintah juga bisa dianggap wujud pemaksaan kehendak.

Lalu siapa yang benar? Duduk bersama bermusyawarah dengan kepala dingin, jernih dan obyektif adalah jawabannya. Memang ini tak mudah. Perlu waktu dan kesabaran. Tapi harus dijalani, jika tak ingin menyaksikan demonstran anarkis, aparat represif dan wakil rakyat arogan. Jikapun tak tercapai baru dilaksanakan voting. Pemungutan suara. Pemungutan suara adalah pilihan terakhir ketika musyawarah tak menghasilkan mufakat. Tentu saja, jika telah dilakukan voting, semua pihak harus menerima dengan lapang dada.

Dan penerimaan keputusan dengan lapang dada tak pernah mencederai demokrasi. Legowo menerima hasil musyawarah atau jikapun harus voting, juga merupakan sebentuk etika demokrasi

Jadi demokrasi juga bisa tegak tanpa demonstrasi, jika semua pihak lebih mengedepankan hati daripada panasnya kepala.

Cikarang Baru, 29 Maret 2012
Ditulis sambil menyaksikan demonstrasi menolak kenaikan BBM yang mulai anarkis dan aparat yang mulai represif meredamnya. Sambil -tak sabar juga- menunggu Presiden yang tak kunjung bersuara.       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar