Sabtu, 17 Maret 2012

PILKADA BEKASI: SIAPA MENANG, SIAPA KALAH

Pesta demokrasi di Kabupaten Bekasi telah usai dilaksanakan pada tanggal 11 Maret 2012. Tepat jam 13.00 semua TPS mulai menghitung hasil pemungutan suara. Sore hari sudah terlihat kecenderungan siapa pemenangnya, karena 70% suara sudah masuk. Pasangan no. 1 Neneng Yasin dan Rohim Mintareja tampak bakal memenangkan pilkada ini.

Tanggal 15 Maret 2012 KPUD mengukuhkan kemenangan Nero, nama keren pasangan nomor 1 ini. Nero memperoleh 442.857 suara (41,06%). Urutan kedua diperoleh pasangan nomor 2 yaitu Sa’duddin dan Jamalul Lail Yunus atau yang disebut SAJA dengan memperoleh 331.638 (30,75%). Pasangan Darip Mulyana dan Jejen Sayuti (Dahsyat) berada diurutan terakhir dengan perolehan 304.108 suara (28,19%).

Jadi siapa pemenangnya?
Sudah jelas Neneng-Rohim! Tapi tunggu dulu.... Coba kita dengar suara-suara miring tentang kemenangan ini. Banyak laporan money politics berasal dari seluruh desa di Kabupaten Bekasi. Merata! Berarti ini pelanggaran pilkada terstruktur dan masiv. Money politik selalu menghantui pilkada. Kalau benar Nero melakukan money politik berarti pasangan ini gagal menang dengan terhormat. Berarti pemenang pilkada ini adalah arogansi kapitalis membeli suara rakyat yang lugu.

Istilah uang cendol, uang cincau, nyiram, ngebom semua dikonotasikan uang untuk membeli suara rakyat. Apakah pasangan yang menang dengan cara demikian pantas disebut sebagai pemenang? Kalau ya, maka yang kalah bukan hanya pasangan lawan, tapi juga KPUD sebagai penyelenggara dan panitia pengawas daerah (panwasda) sebagai pengawas yang tak pandai melihat kecurangan di dalam terang benderangnya siang dan malam.

Yang paling menyedihkan adalah kekalahan seluruh rakyat Kabupaten Bekasi melawan kekuasaan uang yang telah mengelabui mereka dengan membeli suara mereka. Selain itu, ini adalah pertanda kekalahan atau kegagalan pendidikan politik di negeri kita setelah lebih satu dekade malaksanakan pemilu dan pilkada langsung.

KEKALAHAN KPUD

Coba kita total berapa pemilih yg menggunakan hak pilihnya pada pilkada kali ini. 1.078.603 saja dari sekitar 1.7 juta yang tertera dari daftar pemilih tetap yang dikeluarkan secara resmi oleh KPUD. Berarti hanya 63%. Artinya 37% tidak menggunakan hak pilihnya. Atau sekitar 625 ribu orang tidak memilih, dengan berbagai alasan. Ini berarti 1,5 kali jumlah orang yang memilih sang pemenang!

Berbagai alasan dari 625 ribu orang yang tak menggunakan hak pilihnya. Ada yang tidak sreg dengan ketiga pasangan calon. Ada yang sudah tidak tinggal di kabupaten Bekasi lagi. Alias sudah pindah. Ada yang tidak mendapatkan surat undangan dan kartu pemilih, meskipun sebenarnya namanya tertera di DPT.

Lho, kok bisa? Bukankan KPUD telah melakukan pemutahiran data pemilih? Seharusnya memang demikian, tapi memang kenyataannya ini tak dilakukan secara maksimal. KPUD hanya menyerahkan DPS (Daftar Pemilih Sementara) ke RW dan menyerahkan Ketua RW untuk memutahirkan data pemilih di lingkungan masing-masing. Dilaksanakan atau tidak, KPUD tak melakukan verifikasi terhadap “pemutahiran data” yang dilakukan RT/RW. DPS yang kembali ke KPUD dengan pengurangan dan penambahan atau tanpa pengurangan dan penambahan sama sekali dianggap telah dimutahirkan oleh RW masing-masing.

Maka tak heran jika banyak DPT yang persis sama dengan DPS. Banyak DPT yang memuat nama-nama warga secara dobel. Karena RW dan jajarannya malas meneliti DPS, tiba-tiba memasukkan nama warganya dalam daftar pemilih tambahan, padahal warga tersebut telah tercantum dalam DPS. Yang menyedihkan banyak pengakuan RT/RW yang telah menambahkan nama warganya yang tak tercantum dalam DPS, tapi tetap tak muncul dalam DPT.

Jadi siapa yang gagal dalam pilkada ini?
Menurut saya yang gagal bukanlah pasangan yang kalah. Tapi yang gagal adalah KPUD. Dia gagal meningkatkan tingkat peran serta masyarakat dalam pilkada. Dia gagal dalam menyusun DPT yang faktual. Dia gagal menghindari banyaknya warga yang tak mendapatkan kartu pemilih. Dia gagal memenuhi hak-hak warga untuk memilih. 37% warga yang tak menggunakan hak pilihnya menunjukkan kegagalan KPUD sebagai penyelenggara hajatan besar ini.

KEGAGALAN PANWASDA

Kegagalan berikutnya adalah kegagalan Panitia Pengawas Daerah. Puluhan laporan money politics bagai kejahatan di dalam gelap yang tak pernah berhasil dideteksi oleh Panwas. Setiap laporan selalu dituntut disertakan bukti, saksi, pelaku, tempat dan saat terjadinya secara detail. Seakan Panwas tidak pernah memahami bagaimana cara kerja calo politik dalam permainan ini.

Mereka itu bagai belut licin yg berjalan di dalam lumpur becek di malam yang gelap gulita. Meskipun tak terlihat, suara gerakannya terdengar jelas. Memantul dari mulut orang-orang yang mendapatkan uangnya.

Karena tak pandai (baca: tak mau) melakukan investigasi maka dengan ringkas Panwas menyimpulkan bahwa suara gaduh itu hanya isu belaka. Lalu mengatakan dengan lantang bahwa Pilkada berjalan relatif bersih dan terkendali.

KEKALAHAN RAKYAT

Yang paling sering dan selalu kalah telak adalah rakyat jelata.
Rakyat jelata selalu gagal dalam menolak money poltitics. Yang menyedihkan bahkan mereka menganggap uang itu wajar mereka peroleh sebagai upah untuk memilih pasangan tertentu. Karena itu mereka enggan memilih pasangan yang tak memberikan apa-apa. Keadaan demikian seakan dibiarkan saja oleh pemerintah. Sehingga frustrasi menyaksikan penyakit ini, beberapa parpol membuat jargon dan spanduk yang bertuliskan, “Terima uangnya, jangan pilih orangnya!”

Seorang teman harus pulang kampung ke Sukatani saat pilkada karena KTP-nya masih KTP Sukatani. Ketika tiba di rumah orang tuanya dia bertanya kepada ayah dan ibunya, apakah sudah memilih.
Jawaban: “Sudah”
Tanya teman saya, “Memilih siapa?”
Jawab: "No. 1"
Tanya: “Lho, kenapa?”
Jawab: “Kan, sudah dikasih uang sepuluh ribu.”
Teman saya: (tak mampu berkata-kata)

Jadi siapa menang siapa kalah dalam Pilkada Kebupaten Bekasi yang baru lalu?
Yang menang adalah uang, dan yang kalah adalah rakyat!

Cikarang Baru, 17 Maret 2012
Ditulis karena keprihatinan yang mendalam atas pilkada di Kabupaten Bekasi yang diindikasikan banyak beredar uang untuk membeli suara rakyat. Juga pada pilkada di seluruh Indonesia.

1 komentar:

  1. Ini akan menjadi catatan hitam untuk PILKADA Kab Bekasi.
    Kalau yang berfikir jernih akan merasa tidak bangga tinggal di Kab Bekasi.
    Karena suatu ketika berkunjung ke kota lain. Kalau ditanya orang.
    Anda berasal dari mana ? Jawab saya: Bekasi.
    Orang itupun menjawabnya:
    Ooh.. Bekasi, yang katanya pemilihan Bupatinya dengan
    MONEY POLITIC...
    Jadi malu hati ini...

    BalasHapus