Kamis, 03 September 2009

Semangat…..


Hari itu saya mendapat jadwal mengimami shalat tarawih dan kultum di sebuah mushollah yang saya belum tahu lokasinya. Dalam perjalanan saya menelepon kontak personnya. Telpon gak diangkat. Dua kali saya turun bertanya kepada orang yang lewat, menanyakan lokasi musholla. Tidak ada jawaban pasti. Sayup-sayup iqomat mulai dikumandangkan musholla dan masjid terdekat.

Akhirnya saya putuskan berbelok ke sebuah masjid terdekat yang saya tahu. Akhirnya saya masbuk sholat Isya di situ. Lalu dilanjutkan shalat tarawih. Ternyata di masjid ini tidak ada kultum. Kuliah tujuh menit yang biasa disampaikan sebelum shalat tarawih. Yang realisasinya bisa jadi kuliah terserah antum: bisa tujuh menit, sepuluh menit, seperempat jam bahkan dua puluh menit. Meskipun demikian, bagi yang haus ilmu tak apalah waktunya diperpanjang demikian.

Tapi di sini tak ada kultum.
Sebagai makmum tentu saya ikut aja. Anak saya Adnan, duduk di sebelah saya. Tarawihpun dimulai. Dua rakaat pertama diselesaikan dengan membuat saya ngos-ngosan. Betapa tidak…. Imam membaca alfatihah, surat-surat pendek dengan kecepatan tinggi. Lalu doa-doa dalam rukuk, i’tidal, sujud, duduk dan seterusnya seperti saling mengejar antara Imam dan makmum. Saat Imam bertakbir untuk sujud, makmumpun mengikuti. Begitu makmum menyentuhkan dahinya di sajadah, Imam sudah bangkit duduk. Begitu makmum duduk, Imam sudah sujud lagi. Makmum mengejar sujud, Imam bagai meloncat tegak berdiri di rakaat berikutnya.

Baru pada rakaat kedua saya bisa agak bernafas lega. Meskipun tak bisa menikmati indahnya bacaan Al fatihah dan surat-surat pendek. Sudah suratnya pendek, dibaca cepat pula. Maka ketika Imam rukuk, dimulailah kembali kejar-mengejar gerakan makmum dan imam. Sampai bacaan tasyahudpun saya tak pernah bisa menyelesaikannya. Ketika saya baru membaca syahadat, Imam sudah mengucapkan salam.

Saya merasakan bahwa sang Imam bagai sopir angkot yang mengejar setoran. Benar belaka dugaan saya, ketika selesai rakaat ke delapan, ternyata ‘bilal’ memberikan lagi aba-aba untuk melanjutkan dua rakaat berikutnya. Bukan shalat witir. Ada sekitar separuh isi masjid yang berdiri pulang. Maka sayapun beranjak ke luar sambil menarik tangan Adnan.

“Ada apa, Ayah?” tanyanya heran. Dia heran saya keluar, dia juga heran kenapa sudah delapan rakaat kok belum shalat witir juga.

“Kok belum shalat witir?” tanyanya.
“Iya, disini shalatnya 23 rakaat.” Lalu saya menjelaskan bahwa shalat tarawih ada yang 11 rakaat ada pula yang 23 rakaat.
“Who, banyak banget.” Komentarnya.
“Terus kenapa Ayah keluar?”
“Ayah, capek mengejar Imam. Bacanya cepet banget…Ayah gak bisa ngejar ” jawab saya.
“Wah, kalau Adnan malah semangat!” jawabnya tak saya duga.
“Adnan kalau shalat sendirian ‘kan sudah biasa shalat cepat, Yah…” katanya ringan.
“Jadi, Adnan semangat kalau shalatnya cepat…” lanjutnya. “Tapi Adnan gak mau kalau 23 rakaat.”

Saya jelaskan tak apa shalat 23 rakaat, karena ini juga sunnah para sahabat. Tapi tentu tetap harus menjaga kualitas. Bacaan tartil dan syahdu, dengan gerakan yang wajar. Kalau toh ada sebagian yang belum paham maknanya, kita bisa menikmati indahnya lantunan ayat-ayat Al Quran. Juga bisa khusyu membaca doa-doa.

Shalat itu kan curhat kepada Allah, kenapa harus buru-buru. Buru-buru berarti segera berpisah dengan Allah. Jadi mesti berlama-lama. Enak, toh...?

Cikarang Baru, 3 Ramadhan 1430H

1 komentar:

  1. Salam

    Ini cerita yang sederhana tapi dikemas dengan kemasan yang jernih dan mengalir seperti ari yang jernih yang bening

    Enak diikuti dan memberi makna yang dalam

    Salam FUNtastic

    BalasHapus